Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Revolusi Ekonomental
Oleh : Opini
Selasa | 19-01-2016 | 12:15 WIB

Oleh: Norman Yudha*

KEMISKINAN, pengangguran, dan krisis karakter menjadi ornamen buruk yang mewarnai perekonomian nasional saat ini. Pujian sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah hanya sebatas celotehan di media dan diskusi-diskusi, namun hal tersebut tidak membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Apa yang salah?

Bank Dunia mencatat, sejak 2014 ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Pengelolaan makroekonomi cukup berhasil di tengah terpaan krisis global 2008. Selama 2008-2013, ekonomi tumbuh rata-rata 5,85%.

Namun, pada saat bersamaan ketimpangan semakin melebar. Angka kemiskinan masih tinggi sebanyak 28,95 juta orang per Maret 2015 atau bertambah sebesar 860.000 orang ketimbang dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang. Tingkat pengangguran juga masih tinggi 7,56 juta orang.

Dalam 15 tahun terakhir, koefisien Gini yang mengukur ketimpangan ekonomi penduduk sebuah negara semakin membesar di Indonesia, naik dari 0,30 pada tahun 2000 menjadi 0,41 hingga 2015. Bahkan, ketimpangan pendapatan di Indonesia melebihi ketimpangan di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.

Akibatnya, kesenjangan ekonomi Tanah Air saat ini sama dengan Uganda dan lebih buruk dibandingka India, atau merupakan ketimpangan tertinggi dalam sejarah di Indonesia. Masalah ekonomi Indonesia semakin diperparah oleh tindakan korupsi. Selama tengah tahun pertama 2015, Indonesia Corruption Watch mencatat total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 1,2 triliun.

Tentu para punggawa negeri ini tidak diam menanggapi persoalan tersebut. Sejak era reformasi para presiden kita telah melakukan perombakan yang sifatnya institusional, baik dengan amandemen atas UUD 1945, pembentukan undang-undang terkait ekonomi, membentuk sejumlah lembaga di bidang ekonomi (misalnya Dewan Ketahanan Energi, Badan Ketahanan Pangan, termasuk KPK), melaksanakan otonomi daerah, pemberian dana desa.

Bahkan saat ini Presiden Jokowi mengeluarkan “kartu sakti” yang semuanya ditujukan dalam rangka perbaikan ekonomi negara. Namun, reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi bangsa ini. Karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu agenda penting yang harus kita perhatikan.

Revolusi Mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang termasuk ekonomi. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Revolusi mental dalam artian yang mendasar untuk bangsa ini adalah kembali pada pembangunan karakter bangsa, yang mana pada saat ini banyak sekali mental aparatur bangsa dan masyarakat yang sangat jauh dari jiwa Pancasila dan undang-undang.

Dan dapat kita lihat saat ini bahwa bangsa Indonesia harus kembali pada jati diri yang dulu pernah jaya di mata dunia. Seperti pendapat yang pernah disampaikan oleh Indonesia 1 saat ini, Presiden Joko Widodo bahwa pentingnya revolusi mental di bidang perekonomian, sebab saat ini Indonesia tertinggal jauh dari negara lain, karena kehilangan etos kerja keras, daya juang, daya saing, semangat mandiri, kreatifitas dan semangat inovatif.

Pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya? Jawabannya adalah dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara. Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa dengan pertumbuhan ekonomi yang baik.

Perubahan mental yang berakibat pada jiwa merdeka, berpikir demokratis dan ilmiah, giat bekerja, tidak koruptif,  patriotik, gotong royong, cinta rakyat  dan bangsanya sendiri karena sudah tidak lagi bekerja untuk tuan yang asing, akan menjamin pembangunan ekonomi dilaksanakan dengan penuh semangat dan solidaritas.

Korupsi pun menjauh dalam berbagai kerja pembangunan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi pun tak lagi menjadi mimpi. Bila pun ada kesulitan, akan ditanggung bersama dan dicarikan solusi bersama. Bila pemerintah sedang sibuk dengan pembangunan fisik, maka saatnya kita sebagai rakyat mendukung setidaknya dengan membangun mental kita.

Pembangunan ekonomi Indonesia saat ini layaknya benteng yang dibangun dengan megah untuk menjadi tembok pertahanan yang kokoh dari serangan musuh, namun berhasil ditembus karena salah satu penjaganya menerima suap. Demikian juga bangsa ini, yang sejak lama telah mencoba melakukan pembangunan ekonomi dalam visi kebangsaan, yaitu menciptakan Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Tetapi akan terus sengsara jika lemah dalam pembangunan mental.

Oleh karena itu revolusi mental menjadi aspek penting dalam pembangunan bangsa. Di sinilah relevansi revolusi mental dengan pembangunan ekonomi sebagaimana digaungkan Presiden Joko Widodo. Untuk membangun ekonomi suatu bangsa, dibutuhkan SDM yang memiliki mental semangat gotong royong, integritas, moralitas, dan karakter bangsa yang kuat.

Revolusi Mental bukanlah pilihan, tetapi suatu keharusan, agar bangsa kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik dengan memulai Revolusi Mental dari diri sendiri yang dimulai sejak saat ini.

*) Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan sosial.