Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mie Aceh, Antara Isu Ganja, Hikmah Tsunami dan GAM
Oleh : Redaksi
Sabtu | 09-01-2016 | 08:39 WIB
mie_aceh_bang_jaly_by_bbc_indonesia.jpg Honda-Batam
Mie Aceh. (Foto: BBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kaya akan rasa dan aroma rempah-rempah, kuliner tradisional khas Aceh yaitu mie Aceh terus bersaing dengan makanan "pendatang" lainnya untuk memanjakan lidah warga kosmolitan Jakarta.


Saya beberapa kali ke Kota Banda Aceh, sejak liputan tsunami pada akhir 2004, dan saya tidak akan pernah melupakan kalimat pertama seorang sahabat di kota itu yang berkata "jangan lupa menyantap mie Aceh".

Kadang memilih mie Aceh model tumis atau goreng, tetapi saya terlanjur jatuh cinta mie Aceh rebus – yang menunya tidak sulit ditemukan di berbagai rumah makan atau kedai di sudut-sudut kota itu. Dan ini terus berulang setiap ke Banda Aceh.

Itu sudah biasa, karena pada masa itu belum ada ribut-ribut soal larangan (ganja). Kalau Anda ke dapur, ada botol biji ganja itu biasa saja. Tidak ada yang aneh.

Dan selanjutnya, bisa ditebak. Riwayat saya bersentuhan langsung dengan makanan campuran peradaban kuliner Cina, India dan Arab itu, membuat lidah saya terlanjur mengakrabi mie Aceh.

Sampai di Jakarta, saya pun dihadapkan pertanyaan klise yang juga sering diutarakan para pengelana yang baru pulang dari perjalanan jauh: "Di manakah saya mendapatkan makanan tradisional dari tempat yang pernah saya kunjungi?"

Bagi para pebisnis kuliner yang memiliki bakat dan ketajaman, pertanyaan itu bisa berarti "pintu masuk" untuk mengeruk keuntungan dari ceruk bisnis makanan tradisional.

Selasa siang pekan lalu, perempuan kelahiran 1964 di Bireun, Provinsi Aceh itu tengah berada di ruangan utama restoran yang dikelolanya, di kawasan Jalan Bendungan Hilir, Jakpus, ketika saya menemuinya untuk sebuah wawancara.

Namanya Ratna Dwikora, pemilik restoran mie Aceh Seulawah. Memulai usaha kecil-kecilan dengan membuka kantin di Jakarta Selatan pada 1996, kini Ratna telah memiliki sedikitnya 10 cabang di berbagai sudut Jakarta.

Memulai usaha kecil-kecilan dengan membuka kantin di Jakarta Selatan pada 1996, kini Ratna Dwikora telah memiliki sedikitnya 10 cabang restoran Seulawah di berbagai sudut Jakarta.

"Pangsa pasar yang menuntut saya akhirnya menjual mie Aceh," ungkap ibu empat anak ini, ketika saya bertanya kenapa dirinya menjadikan mie Aceh sebagai menu utama.

Ratna masih ingat, mie Aceh – dan masakan tradisional Aceh lainnya – makin menarik hati sebagian warga ibu kota setelah bencana tsunami meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh, akhir Desember 2004.

"Saya tidak bilang (bencana tsunami) ini keuntungan ya, tapi sesudah tsunami Aceh, orang jadi penasaran dengan Aceh, lalu makanan Aceh jadi umum. Dan setelah dicoba rasanya cocok," katanya.

Pendapat serupa juga diutarakan pemilik restoran Mie Aceh Jaly-jaly, Razalie Abdul Jalil. Pemilik 18 cabang restoran mie Aceh di berbagai wilayah ibu kota ini mengaku bencana tsunami membuat Aceh "makin dikenal" – juga kulinernya.

"Sebelum tsunami, saya buka kedai mie Aceh, dan saya ajak orang untuk makan supaya kenal. Tapi setelah tsunami, orang bertanya 'di mana saya bisa makan kuliner Aceh'," ungkap pria kelahiran 1958 ini.

"Jadi hikmah tsunami itu banyak, mungkin sebagian musibah, tapi sebagian berkah," ujar pria yang akrab dipanggil Bang Jaly.

Kehadiran media sosial dan liputan kuliner di media televisi juga disebut Ratna ikut mendongkrak popularitas mie Aceh bagi masyarakat di luar Aceh.

Di pertengahan tahun 1990-an, restoran atau kedai makanan di Jakarta yang menjual kuliner tradisional Aceh, masih bisa dihitung dengan jari, kata Ratna dan Razalie.

Kenyataan inilah yang melatari mereka – yang dibesarkan dalam keluarga yang mengakrabi dunia masak-memasak – untuk membuka restoran ala Aceh. Alasannya barangkali sederhana: masih sedikit pesaing.

"Saya ambil sesuatu yang eye cathcing di belantara Jakarta. Karena saya orang Aceh, maka keputusan yang saya ambil 'ayo kita buat (restoran) makanan Aceh',"ungkap Ratna.

Pilihan serupa juga dilakukan Razalie. "Kenapa tidak saya kembangkan produk Aceh, sehingga terpikir saya membuka restoran masakan Aceh."

Sumber: BBC Indonesia
Editor   : Dardani