Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ajari Anak Benci Korupsi Sejak Dini
Oleh : Opini
Sabtu | 02-01-2016 | 12:23 WIB
korupsi_ilustrasi.jpg Honda-Batam
Ilustrasi.

Oleh Ahmad Fauzan S.IP

KASUS korupsi di Indonesia  diibaratkan orang sakit “keras’ yang  harus disembuhkan dengan penanganan yang benar. Korupsi di Indonesia melibatkan kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif dan juga kalangan swasta. Korupsi harus diberantas baik dengan penegakan hukum maupun  dengan cara edukasi kepada pelajar dari kalangan tingkat dasar sampai kepada perguruan tinggi.

Kasus indikasi korupsi yang menyita perhatian publik yang baru-baru ini terjadi, menimpa Gubernur Sumatera Utara non-aktif Gatot Pujo Nugroho yang terindikasi oleh KPK menyalahgunakan dana bantuan sosial  (bansos) Provinsi Sumatera Utara. Tahun 2012-2013. Kasus ini menjadi gaduh karena di sekelilingnya  melibatkan kalangan pengacara yang mendampinginya, anggota DPRD, anggota dewan yang mempunyai jaringan di Kejaksaan Agung dan aparat terkait lainnya

Untuk membendung dan meminimalisir terjadinya kasus korupsi di Indonesia, perlu diperkuat sinergitas antar penegak hukum. Tiga lembaga penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri dan Kejaksaan Agung, bersepakat membangun sinergitas dalam pemberantasan korupsi. Kesepakatan dihasilkan dalam sebuah pertemuan tertutup pada 4 Mei 2015 lalu. Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan, pertemuan tersebut membahas kerja sama antarlembaga yakni KPK, Kejagung, dan Polri dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.

Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf menyatakan sinergi tiga lembaga itu dari sisi hukum tata negara, tidak menyalahi aturan. Di tataran lapangan, Kejaksaan Agung bisa berperan lebih aktif dalam menguatkan pelaksanaan koordinasi serta komunikasi diantara lembaga penegak hukum.

Seiring dengan banyaknya kasus-kasus korupsi yang menimpa pejabat dari berbagai kalangan  serta akan di revisinya UU KPK, menimbulkan tudingan-tudingan miring yang menyatakan pemerintah saat ini akan melemahkan fungsi dari KPK. Karena dengan adanya revisi ini mereka berfikir KPK akan seperti macan ompong karena gerakannya dalam memberantas korupsi akan dibatasi.

Hal ini, ditentang oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, yang menyatakan pemerintah masih membutuhkan peran penting dan pengawasan yang baik dari KPK. Hal tersebut sebagai upaya mendukung percepatan pembangunan yang didorong oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo sangat 'commit' dengan agenda pemberantasan korupsi, karena sedang  gencar menggenjot pembangunan infrastruktur, oleh karenanya betul-betul membutuhkan KPK yang kuat, dan posisi KPK yang ada saat ini tidak mungkin dilemahkan.

Fungsi dari KPK selain menindak pelaku korupsi, juga memaksimalkan fungsi pencegahan, karena upaya ini lebih banyak menyelamatkan keuangan negara dibandingkan penindakan. Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, menyatakan sejak 2005 hingga 2014 KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara sekitar Rp 249 triliun.

Dari jumlah tersebut, total penyelamatan uang negara dari pencegahan yang paling besar, yakni mencapai Rp 247 triliun lebih. Sedangkan total penyelamatan uang negara yang didapatkan KPK dari penindakan praktik korupsi hanya Rp 1,27 triliun. Karena itu, KPK terus memaksimalkan fungsi pencegahan, meski tetap melakukan penindakan jika telah memiliki bukti yang lengkap.

Permasalahan pemberantasan korupsi menuntaskannya tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan karena sudah mengakar dan melibatkan banyak kalangan. Butuh waktu, materi dan keseriusan semua pihak dalam meminimalisir dan mencegah berkembangnya kasus korupsi ini. Salah satu solusinya adalah membangun budaya anti korupsi sejak dini, dimulai dari keluarga.

Budaya mengenalkan bahaya korupsi dimulai dari keluarga, sejak anak memasuki jenjang sekolah paling bawah hingga perguruan tinggi. Pengenalan nilai-nilai anti korupsi, tidak saja dari desain kurikulum formal, tapi juga dari nonformal. Anak-anak sejak dini harus mengetahui bahayanya korupsi, misalnya, rusaknya penyelenggaraan pemerintahan yang mengakibatkan pembangunan menjadi terhambat karena tindakan para koruptor, sehingga masyarakat yang dirugikan.

Pengenalan bahaya korupsi melalui jalur non formal seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta bekerja sama KPK melaksanakan program Gerakan Nasional "Saya, Perempuan Anti Korupsi !" (SPAK) dan Gerakan Anak "Sembilan Nilai Moral" (Semai). Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, program itu untuk mengedukasi anak-anak tidak melakukan korupsi. Program ini berbentuk permainan yang dapat melatih anak-anak menghindari berbagai upaya korupsi.

Cara edukasi dengan permainan dengan studi kasus, anak-anak diminta mengambil kartu. Seorang anak menuntut orang tua untuk merayakan ulang tahunnya. Orang tuanya bertanya kepada sang anak, apakah mau pesta ulang tahun dirayakan di hotel. Anak-anak diminta menjawab dengan memilih dua kartu yang ada, yaitu kartu dengan jawaban ya atau tidak. Kalau ambil kartu tidak berarti anak ini memiliki sifat kesederhanaan, kejujuran, dan keadilan. Tapi kalau ambil kartu ya, bisa jadi anak tersebut berpotensi korupsi.

Permainan ini harus disosialisasikan biar anak-anak mengerti. Selain permainan, ada juga cerita tentang budaya korupsi. Salah satu studi kasusnya. Ada seorang anak meminta orangtuanya memberi hadiah kepada guru, satpam, serta petugas kebersihan ketika hari raya Idul Fitri tiba. Di satu sisi, orang tua mengira anaknya memiliki jiwa sosial baik. Namun, ternyata di sisi lain, anaknya memiliki maksud lain yaitu menyogok agar diberikan kemudahan terutama oleh satpam ketika ia datang terlambat. Sifat ini sangat membahayakan ketika dewasa kalau dia jadi pemimpin.

Adanya pertemuan lembaga penegakan hukum untuk memberantas dan menuntaskan kasus korupsi sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo supaya ada sinergi diantara lembaga penegakan hukum. Komunikasi sangat penting, Kejaksaan Agung adalah lembaga yang netral dan membuktikan lembaga tersebut tidak terlibat intrik di antara lembaga penegakan hukum yang ada. Dengan adanya koordinasi maka  kepercayaan publik kepada penegak hukum terangkat lagi dan  otoritas penegak hukum bisa bekerja sama dengan baik  serta   berjalan harmonis, sesuai dengan harapan kita semua.

Pemerintah menghendaki aparat penegak hukum yang kuat. Jadi komitmen pemerintah  mensinergikan lembaga penegakan hukum  dalam pemberantasan korupsi tidak usah diragukan dan dipertanyakan lagi. Dengan demikian, tidak ada rencana pemerintah untuk membuat rancangan undang-undang yang mengatur tentang pengampunan pelaku kejahatan korupsi ataupun pelemahan lembaga pemberantasan korupsi.

Pengenalan yang baik tentang bahaya  korupsi dari semenjak dini dan perbaikan mentalitas, budaya, dan pola pikir bahwa tindakan korupsi harus menjadi musuh bersama, harus  kita canangkan. Dengan demikian harapan agar percepatan pembangunan Indonesia menuju rakyat yang adil dan makmur benar-benar dapat terwujud.   

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik