Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pakar Indonesia Asal AS Ben Anderson Meninggal di Jawa Timur
Oleh : Redaksi
Senin | 14-12-2015 | 10:40 WIB
pakar_ind_as_by_voa.jpg Honda-Batam
Petugas menunjukkan peti jenazah Ben Anderson di ruang tengah tempat persemayaman jenazah Adi Jasa, Jalan Demak, Surabaya, Minggu (13/12/2015) (Foto: VOA/Petrus)

BATAMTODAY.COM, Surabaya - Kabar meninggalnya Benedict Richard O'Gorman Anderson atau biasa disapa Ben Anderson hari Minggu dini hari (13/12) mengejutkan khalayak ramai di Indonesia karena beberapa hari sebelumnya ia masih membakar semangat para mahasiswa di Universitas Indonesia, Depok lewat kuliah umum bertema anarkisme dan nasionalisme.


Kuliah umum yang diselenggarakan oleh program studi Filsafat – Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia bekerjasama dengan penerbit “Marjin Kiri” dan majalah “Loka” itu dihadiri ratusan mahasiswa. Dengan lantang Ben Anderson – yang telah menulis lebih dari 400 publikasi yang diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa itu – mengajak mahasiswa untuk tetap mengobarkan semangat nasionalisme.

Pemimpin redaksi majalah TEMPO Arif Zulkifli menulis bagaimana Ben Anderson menyampaikan jawaban tegas ketika ada seorang mahasiswa yang bertanya tentang nasionalisme. Ben mengatakan, “menjadi nasionalis adalah ketika kau malu terhadap apa yang terjadi pada negerimu, tetapi tak bisa berpaling darinya. Semacam cinta yang keras kepala.”

Itulah Ben Anderson yang dikenal masyarakat Indonesia. Ia sangat mencintai Indonesia tetapi juga menjadi pengkritik nomor satu. Salah satu tulisannya bersama seorang peneliti lain di Cornell – Ruth McVey – tentang analisa peristiwa G30S, membuat Orde Baru gerah dan melarangnya masuk ke Indonesia.

Dalam tulisan yang diterbitkan pada 1 Januari 1966 yang kemudian disebut sebagai “The Cornell Paper” itu, Ben Anderson menyimpulkan bahwa peristiwa G30S adalah persoalan internal angkatan darat dan bahwa Partai Komunis Indonesia tidak terlibat langsung.

Berbagai kajian dan buku tentang Indonesia yang ditulis Ben Anderson menjadi rujukan peneliti dan mahasiswa. Bukunya seperti “Revolusi Pemuda 1944-1966” tentang manajemen konflik ala Presiden Soekarno, atau buku “Imagined Communities” tentang kebangkitan nasionalisme di negara-negara berkembang menjadi bacaan wajib mahasiswa. 

Tak heran jika meninggalnya profesor emeritus pada bidang studi Internasional di Universitas Cornell – Amerika ini menimbulkan kesedihan banyak kalangan. Yuska Hari Murti – mantan aktivis mahasiswa jaman Orde Baru yang kini menjadi pengurus Buddhist Education Center mengatakan, kepergian Ben Anderson merupakan suatu kehilangan atas seorang yang sangat memahami Indonesia.

“Jelas kita sangat kehilangan atas wafatnya Ben Anderson, karena beliau menurut saya adalah salah seorang tokoh yang sangat paham dan mengerti tentang Indonesia. Beliau banyak membawa pemikiran-pemikiran penting bagi perubahan di Indonesia. Jadi apa pun, siapa pun juga yang ingin memahami tentang Indonesia itu harus membaca tulisan-tulisan dari Ben Anderson. Selamat Jalan Ben,” ujar Yuska.

Hal senada disampaikan Ahmad Zainul Hamdi – pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, yang mengatakan sosok Ben Anderson telah menjadi inspirasi bagi siapa saja di Indonesia mengenai bagaimana menjadi warga negara yang mencintai bangsa dan negara Indonesia secara sungguh-sungguh.

“Saya ini berada pada lingkungan orang-orang dekat Ben Anderson, baik kawan maupun langsung muridnya. Saya sendiri juga membaca karya-karyanya Ben Anderson. Ben Anderson ini orang yang sangat mencintai Indonesia, sangat mencintai Indonesia. Mencintai Indonesia apa adanya, misalkan begini ya, bahkan orang Indonesia sendiri yang seringkali menghina bangsa Indonesia karena dianggap tidak beradab, katrok (primitif, red.) dan sebagainya, justru Ben Anderson itu terpukau dengan Indonesia itu apa adanya, terutama kehidupan sosial (masyarakat) di bawah,” papar Zainul Hamdi.

Ahmad Zainul Hamdi menambahkan tulisan-tulisan Ben Anderson yang dianggap berbahaya oleh pemerintahan Presiden Soeharto, justru mengispirasi kalangan intelektual yang berseberangan dengan penguasa rezim Orde Baru untuk tetap mempertahankan idealisme dan kejujuran.

Ia melanjutkan, “Ben ini intelektual yang jujur ya, dia sama sekali tidak memiliki kepentingan pilitik apa pun. Nah, di jaman Orde Baru itu intelektual yang jujur dengan sendirinya intelektual yang menjadi musuh bagi rezim, karena rezim itu hanya ingin intelektualnya menjadi tukang, dan itu gak mungkin. 

Kawan-kawan Ben, murid-muridnya Ben pasti juga akan menjadi musuh-musuh dari Orde Baru, karena rezim Orde Baru tidak menginginkan para intelektual yang jujur, yang (diinginkan) hanya menjadi tukang saja, dan Ben tentu saja tidak akan mau menjadi seperti itu.”

Hingga laporan ini disampaikan jenazah Ben Anderson masih disemayamkan di rumah persemayaman jenazah Adi Jasa di Jalan Demak Surabaya. Pihak kerabat yang membawa jenazah Ben dari kota Batu – Malang memesan dua ruang tipe biasa, yang akan digunakan mulai tanggal 15 Desember untuk acara penghormatan terakhir bagi mendiang Ben.

“Ini jenazah sudah datang dari Batu ke Surabaya masuk Adi Jasa jam 11.00 siang. Terus rencana pemakaian ruangan itu tanggal 15 menempati ruang 8 dan 9. Menurut dari pihak penanggungjawab, itu dia menempati ruangan yang biasa, karena selama hidupnya dia sederhana. Jadi menurut riwayat kesederhanaannya dia, dia minta ruangan yang biasa bukan yang VIP,” kata Naryo.

Jenazah Ben Anderson yang lahir di Kunming, China, itu menurut rencana juga akan dikremasi di Surabaya, tetapi masih menunggu sanak keluarga dari Amerika. [pr/em] (Sumber: VOA Indonesia)

Editor: Dardani