Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Sejarah Batam di 'Buku Kehidupan' Rahimin
Oleh : Harun Al Rasyid
Selasa | 01-12-2015 | 08:00 WIB
IMG_20151130_150342.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Rahimin "anak laut" yang tak mau dipisahkan dengan laut. (Foto: Harun Al Rasyid)

BATAMTODAY.COM, Batam - Perlahan perahu pancung kami bergerak meninggalkan Dermaga Pulau Buluh, Senin (30/11/2015) pukul 15.00 WIB. Suara mesin dan deru ombak pun bersahutan. Tampak tangan pria tua cekatan memegang erat kendali mesin perahu. Menancapkan gasnya pelan-pelan, sembari melihat ke arah haluan di mana perahunya memecah ombak. 


Sore itu, udara di sekitar laut Pulau Buluh sedikit lebih panas. Walaupun dibasahi air hujan beberapa hari belakangan ini, toh rasanya tetap saja terik matahari begitu menyengat. Bagi pendatang baru seperti saya, ini seperti dibakar dalam sekam. Terasa terik matahari hingga ke ubun-ubun. 

Tampak tangan tua itu sudah tak sekuat dulu. Otot yang menjalar di sekujur tanganpun tak seperti otot besi kala masa mudanya. Sementara wajahnya, yang sudah menua termakan usia, masih memancarkan aura berani nan tangguh. Sorot matanya yang tajam namun sedikit lembut terpampang jelas diantara kedua bola matanya. 

"Baru kali ini ke Pulau Buluh bang, tadi ke mane?," tanya lelaki tua itu dengan logat khas Melayu memecah suara ombak. 

Lelaki tua itu adalah Rahimin. Warga asli Pulau Buluh berusia 66 tahun, bekerja sebagai penambang bot mengantarkan penumpang dari satu pulau ke pulau yang lainya. Selama 30 tahun lamanya, ia tak pernah berhenti ataupun mengeluh bekerja sebagai penjual jasa. Baginya, semua pekerjaan akan bernilai sama jika dijalani dengan ikhlas dan sabar. 

"Tak masale kerja ape pun itu. Yang penting ditekuni dengan ikhlas, Allah punya rejeki sendiri buat hamba-Nya," katanya sambil tetap memegang kemudi pompong.

Tampak sekali-kali ia tersenyum dan tertawa terkekeh-kekeh. Barisan gigi depan lelaki ini sudah tak seperti dulu. Jika saja tak tersenyum, kakek dengan balutan kemeja biru, celana jins dan topi abu-abu bertuliskan Dras, bisa saja menipu pandangan mata. 

Bagaimana tidak, dengan pakaian yang dikenakannya, tampak tak seperti lelaki tua. Lelaki berbadan tinggi tegap ini masih terlihat segar bugar, kokoh dan berprinsip tegas. 

Sembari meneguk segelas kopi di pinggir Pelabuhan Sagulung, ia mengisahkan lembar kisah perjalanan hidupnya menjadi driver pancung ini. Pancung adalah sebutan orang-orang Kepulauan Riau pada umumnya, menamakan perahu bot yang terbuat dari kayu, biasanya memuat sekitar 10 orang.

"Biasanya orang sini menamakan Pancung. Bisa 10 orang lebih lah. Tak mesti, muat barang juga bisa," jelasnya sambil menunggu satu-satunya pelanggan yang biasa ia antar dan jemput. 

Di usianya yang terbilang senja, lelaki yang pernah mengenyam Sekolah Rakyat ini masih tetap bekerja sebagai penambang. Kendati pendapatan yang ia terima sekarang lebih kecil dibandingkan masa-masa dulu. 

Sebelum "wabah paceklik" menyerang perusahan galangan kapal maupun perusahan lainya, dalam sehari ia bisa membawa pulang Rp400 hingga 500 ribu rupiah. Tapi, semenjak krisis mendera beberapa perusahan di Kota Batam ini, angka itu sudah tak pernah mampir dalam genggaman Rahimin. 

Namun, tidak sekarang. Rata-rata penumpangnya kala itu dipenuhi para pekerja galangan kapal maupun industri lainya di Kota Batam. Masyarakat Pulau Buluh selain sebagai nelayan, mereka mengais rejeki dari pekerja kasar. Ada yang bekerja sebagai halper di shipyard, pekerja bangunan, dan bekerja di perusahan industri Mukakuning. Setiap pagi dan sore selalu saja perahunya dipenuhi para pekerja ini. 

"Sekarang Rp150 sampai Rp200 saja sudah sakit. Paling Rp100 dapat, kalau tidak Rp70 ribu, Rp80 ribu," terangnya sambil mengerutkan kedua alis matanya. 

Berkurangnya pendapatan ia sekarang dan semua penambang bot pada umumnya karena perusahan tempat para pekerja itu sudah tak beroperasi. Kalupun beroperasi, mereka hanya membutuhkan yang mempunyai pendidikan. Malah lebih mementingkan para pekerja yang ada ikatan kekeluargaan. 

Sementara bagi Rahimin, orang-orang pulau seperti mereka adalah orang udik yang tak tau apa-apa. Pendidikan masyarakat Pulau Buluh ada umumnya yang hanya tamatan Sekolah Dasar atau yang tidak bersekolah sama sekali menjadi alasan mereka membuang para pekerja begitu saja. 

Entahlah yang terjadi sebenarnya seperti apa, setidaknya itulah keluahan yang keluar dari mulut lelaki tua ini.  "Udah gak ada kerja lagi. Kami ini orang pulau yang tak ngerti. Dibohongi saja kami tak masaleh (percaya,red)," kesal Rahimin.

Baginya, bekerja sebagai penambang adalah pilihan yang paling mudah, sebab hanya itu satu-satunya yang bisa ia kerjakan sekarang. Masa mudanya lebih banyak dihabiskan di laut sebagai nelayan daripada bekerja sebagai kuli bangunan. Mengarungi derasnya ombak memecah karang, adalah hal yang biasa. 

Hingga perahu kayu yang ia tumpangi tenggelam beserta isi hasil jerih payahnya pun sudah pernah ia rasakan. Apalagi harus tidur di bantalan kayu disapu angin dan serpihan ombak laut menjadi santapannya setiap malam. 

"Dulu perahunya tak sebagus sekarang. Masih pakai perahu dayung. Daerah sini masih hutan belantara. Tak ada listrik, air susah. Serba susahlah pokoknya," kenangnya. 

Pernah suatu ketika, ia kembali dengan tangan hampa. Tak ada satupun ikan ataupun hasil laut lainya yang ia bawa. Entah apa yang sedang menimpa lelaki 11 cucu ini waktu itu. Angin dan ombak laut yang ganas diduganya menjadi penyebab ia harus tidur di pelataran samping rumahnya. 

Tak kuasa ia menatap wajah sang istri dan kedua anaknya kala itu. Ia memutuskan bermalam dibawa serambi rumah samping kamar sang istri. Ia rela ditemani nyamuk nakal dan suara jangkrik serta alunan suara grimis malam itu. Asalkan istri dan anaknya tak menghabiskan malam dengan rasa kecewa, bilamana didapati tak ada hasil tangkapan yang dibawa sang ayah. 

"Saya tidur sambil nahan lapar, tapi tak mengapa, asal istri dan anakku tak tahu bapaknya tak dapat hasil laut," kisahnya sembari diam sebentar. 

Keesokan harinya, buru-buru ia membeli ikan ke seorang teman yang sama-sama berprofesi sebagai nelayan. Lalu menyodorkan kepada sang istri, sambil berkata "ini mah tangkapan ayah semalam." ia terpaksa berbohong, hanya untuk membuat istrinya senang dan tak ada senyum kecut terurai di bibir sang istri. 

Ceritanya ini seolah-olah mau mengenang moment-moment romantisme masa lalu. Tatapan matanya kembali sayu, menerawang jauh di sela-sela kisah masa lalunya yang masih tersusun rapih. Kerutan di dahi Rahimin menandakan ia berusaha kembali membuka goresan-goresan lama yang masih tersimpan. Ia masih mengingat persis kisah terindah yang pernah ia tulis di atas kanvas kehidupan Rahimin masa silam. 

Sementara itu, menurutnya, hasil tangkapan para nelayan sekarang juga tak seberuntung dulu. Jika dulu bisa membawa pulang puluhan kilo ikan maupun udang dalam sekali tangkapan, sekarang untuk lauk saja sudah susah. Dikatakan Rahimin, bukan salah para nelayan yang tak giat mencari ikan. 

Tapi karena sudah tak ada ikan yang ada dilautan sana. Pabrik-pabrik maupun industri disepanjang pantai dan laut menjadi penyebab menghilangnya ikan dan udang. Banyaknya limbah maupun minyak yang ditumpahkan kedasar laut menjadi hal lain penyebab kaburnya binatang laut ini.

Apalagi alat penangkap ikan para nelayan Pulau Buluh kalah mentereng dengan alat nelayan pencuri ikan asal negara tetangga. Apalagi bicara masalah tumpangan yang kalah modern dengan milik para pencuri-pencuri itu. Sungguh jauh berbeda dan seakan menyerah begitu saja pada nasib yang menimpa para nelayan Pulau Buluh. 

"Sekarang tak bisa nelayan lagi. Tak ada ikan, udang pun tak ada. Tempat laut sudah digarap semuanya tuh. Mana bisa melaut lagi. Cuma narik perahu saja lah," ujarnya kesal. 

Bagi Rahimin, sekalipun ia diajak meninggalkan Pulau Buluh dan beranjak dari pekerjanya, ia tak akan berpaling. Mungkin orang pada umumnya melihat pekerjanya tak seberapa, bagi dia, pekerjaan mengantar orang dan menjaga keselamatannya adalah ibadah. Apalagi harus meninggalkan tempat kelahiranya, tak pernah terbesit dalam pikiranya sedikitpun untuk hijrah. Ia bersikukuh untuk tetap di Pulau Buluh, bekerja sebagai penambang hingga akhir hayatnya nanti. 

"Saya masih kuat kerja nambang. Tak tau lagi sampai kapan, pokoknya tetap disini sampai mati nanti," tegasnya. 

Rahimin tak mau memikirkan terlalu berat. Lelaki dengan tujuh anak ini sudah bisa bernafas lebih lega. Dari ketujuh anaknya, enam diantaranya sudah menikah dan mempunyai kehidupan sendiri. Walaupun kadang masih merengek kepada sang ayah, bagi dia itulah yang disebut romantisme antara anak dan bapak. 

Bagi dia, sampai kapanpun, anak tetaplah seorang anak yang masih layak diberi perhatian dan kasih sayang. Ia tak menaruh harapan besar kepada semua anaknya untuk menghidupkannya. Selama ia kuat menarik perahu itu, tak terlintas dalam niatnya untuk meminta dikasihani.

"Yang penting anak saye bahagia, bisa makan senang yah sudah. Saye tak mau merepotkan lah," ujarnya sambil tersenyum kecil. 

Percakapan kamipun berhenti di sini. Satu-satunya pelanggan Rahimin, mengajaknya untuk meninggalkan pelabuhan Sagulung. Dengan senyum ramah ia pun bergegas meninggalkan pelabuhan. Senyumnya seakan-akan menyembunyikan peluh yang tak mau ia tunjukan. Seperti memberikan pelajaran kepada saya, jangan pernah mengeluh walau keruh, kejarlah rejekimu tempat dimana Tuhan menaruh. 

Editor: Dardani