Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

UNHCR Peringati 60 Tahun Konvensi Pengungsi
Oleh : Redaksi/Dodo
Jum'at | 29-07-2011 | 16:06 WIB

JENEWA, batamtoday - Tahun ke-60 Konvensi Pengungsi Jenewa diperingati kemarin, digelar seiring dengan meningkatnya kompleksitas perpindahan manusia yang terjadi secara terpaksa, serta dengan meningkatnya kesulitan yang dialami negara-negara berkembang yang menerima sebagian besar dari jumlah pengungsi di seluruh dunia.

Konvensi Perserikatan Bangsa –Bangsa (PBB) mengenai Status Pengungsi secara formal disahkan pada tanggal 28 Juli 1951, untuk mengatasi masalah pengungsi di Eropa setelah Perang Dunia ke-2. Perjanjian global ini mendefinisikan mereka yang memenuhi syarat sebagai pengungsi - orang yang memiliki ketakutan akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik-serta menjabarkan hak dan kewajiban pengungsi serta negara yang menerima pengungsi.

Sebagai landasan hukum yang sah yang mendasari kerja UNHCR, Konvensi ini memungkinkan UNHCR membantu jutaan pengungsi untuk memulai kehidupan mereka kembali selama 60 tahun terakhir ini.

Saat ini Konvensi Pengungsi 1951 masih menjadi dasar bagi perlindungan pengungsi. Konvensi ini telah beradaptasi dan bertahan selama enam dekade yang penuh akan perubahan, namun hingga saat ini tetap menghadapi berbagai tantangan yang berbeda satu dengan yang lainnya.

“Penyebab perpindahan manusia secara terpaksa telah berlipat ganda,” ujar Komisioner Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UN High Commissioner for Refugees) António Guterres, dalam rilis yang dikirimkan ke batamtoday.

“Orang-orang melakukan perpindahan tidak hanya karena adanya konflik dan persekusi, namun juga karena kemiskinan yang ekstrim dan karena dampak perubahan iklim. Faktor-faktor ini menjadi terhubung satu dengan yang lainnya,” tambahnya.

Di Somalia, lebih dari 170.000 orang telah mengungsi ke negara-negara tetangganya sejak bulan Januari dikarenakan oleh kondisi kelaparan, kekeringan dan keamanan yang tidak baik. Kurang lebih satu juta orang telah meninggalkan Libya yang bergejolak, mereka adalah para pengungsi dan pencari suaka, termasuk juga diantaranya migran ekonomi yang mencari penghidupan lebih baik di tempat lain.

“Kami membutuhkan perbatasan-perbatasan negara yang peka terhadap perlindungan, agar siapapun yang memiliki kekhawatiran terhadap hidup dan kebebasan mereka, dapat selalu memperoleh perlindungan,” ucap Guterres.

"Pada saat yang sama, kita perlu menemukan cara-cara inovatif untuk mengisi celah- celah yang ada dalam sistem perlindungan internasional serta untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi yang merangkul, dan bukannya mengembangkan perilaku yang takut atau curiga terhadap mereka yang membutuhkan perlindungan," tambahnya.

Empat per lima dari keseluruhan jumlah pengungsi hidup di negara-negara berkembang, dan beberapa krisis terakhir yang terjadi di Somalia, Libya dan Pantai Gading menambah beban yang harus dipikul oleh negara-negara berkembang tersebut. Seiring dengan kesulitan yang harus dihadapi di Afrika Timur terkait dengan krisis kekeringan yang terparah dalam 60 tahun, Kenya, Ethiopia dan Djibouti saat ini menjadi negara penerima 450,000 pengungsi Somali dan angka ini terus berkembang setiap harinya. Tunisia dan Mesir menerima jumlah terbesar eksodus dari Libya ditengah pergolakan yang terjadi di Arab. Dalam kondisi belum seluruhnya pulih dari konflik sipil yang berlangsung selama bertahun-tahun, Liberia memberikan suaka bagi 150.000 penduduk Pantai Gading yang meninggalkan negaranya setelah kekerasan pasca pemilihan umum dan karena situasi yang tidak menentu.

Sebagai perbandingan, 27 negara Uni Eropa secara total hanya menerima 243.000 permintaan suaka sepanjang tahun lalu, atau sekitar 29% dari jumlah keseluruhan di seluruh dunia.

"Eropa memiliki kewajiban terhadap orang-orang tersebut, terhadap seluruh pengungsi dan terhadap dirinya sendiri untuk mengamalkan nilai – nilai dalam Konvensi Pengungsi 1951,” tambah Guterres, menyampaikan bahwa EU memiliki kapasitas untuk menambah tanggungjawabnya terhadap pengungsi dan pencari suaka.

“Saat ini, sistem yang berlaku secara umum masih belum jelas, perbedaan yang signifikan masih terdapat diantara negara anggota dalam hal menerima dan memperlakukan pencari suaka. Peringatan 60 tahun Konvensi Pengungsi ini, kami harap dapat memberikan kemajuan dan perubahan dalam pembentukan Common European Asylum System yang selayaknya. Eropa dapat berbuat lebih banyak dalam penempatan
pengungsi,” ucap Guterres, seraya mengambil contoh proses dimana pengungsi di suatu negara, yang biasanya adalah negara berkembang, secara permanen akan direlokasi ke negara baru, yang biasanya adalah negara maju.

Denmark adalah negara yang pertama kali meratifikasi Konvensi 1951. Enam puluh tahun setelahnya, 148 negara (tiga perempat dari jumlah seluruh negara di dunia) telah menjadi Negara Pihak atas Konvensi dan atau Protokol tahun 1967. Nauru adalah negara yang paling baru bergabung, yakni sejak Juni tahun ini. Namun masih terdapat beberapa bagian di dunia ini, terutama di daerah Selatan, Asia Tenggara dan Timur
Tengah, dimana kebanyakan negara-negaranya belum meratifikasi Konvensi 1951.

Pada bulan Desember mendatang, Badan PBB untuk urusan pengungsi akan menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri Negara-Negara Pihak dari Konvensi 1951. Negara-negara tersebut dapat menegaskan komitmen mereka terhadap Konvensi sebagai instrumen kunci dalam perlindungan pengungsi serta mengikrarkan aksi konkret mereka dalam memecahkan masalah pengungsian dan masalah keadaan stateless (tidak-bernegara). Pertemuan ini juga akan mencari cara untuk mengatasi celah – celah perlidungan dimasa mendatang, dalam lingkungan yang berubah dengan sangat cepat, dalam mana perpindahan secara terpaksa terjadi.

UNHCR percaya bahwa satu orang yang terpaksa melarikan diri dari perang dan persekusi adalah jumlah yang sudah terlalu banyak. Dalam rangka menandai peringatan ke-60 tahun Konvensi Pengungsi, UNHCR meluncurkan kampanye “1”, yang bermaksud untuk ‘memanusiakan’ sebuah permasalahan yang seringkali hanya dilihat sebagai ‘angka’, dengan cara-cara seperti menyebarkan cerita-cerita individual tentang para pengungsi serta tentang orang – orang yang secara terpaksa harus melakukan perpindahan atau pengungsian.