Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meneropong Akhir Cerita KPK
Oleh : Opini
Rabu | 04-11-2015 | 12:10 WIB

Oleh: Amril Jambak* 

REVISI Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nampaknya bakal berjalan mulus. Berbagai kewenangan lembaga anti rasuah dipangkas. Dari substansinya, dikhawatir kalau sampai disahkan oleh DPR RI, kiamat buat pemberantasan korupsi, karena salah satu isi revisi UU KPK itu menyebut sejak UU disahkan 12 tahun kemudian KPK bubar permanen.

Mungkin bisa kita lihat dari pasal-pasal krusial yang dianggap sebagai pengantar kiamat alias pelemahan KPK, yakni KPK hanya berusia 12 tahun seperti yang ada dalam pasal 5 rancangan RUU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015).

Draf selanjutnya, KPK tidak menangani kasus di bawah Rp50 miliar. Rancangan revisi UU KPK mencakup aturan soal pengalihan kasus ke Kepolisian dan Kejaksaan. KPK direncanakan hanya bisa menangani kasus bila kerugian negara di atas Rp 50 miliar. Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 13 di rancangan revisi UU KPK.

Dalam revisi UU tersebut pada Pasal 13 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.

Sejumlah kewenangan KPK diotak-atik DPR lewat rancangan revisi UU KPK yang diajukan. Salah satunya adalah tentang penghentian penyidikan. Saat ini, KPK tidak memiliki wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dengan demikian, semua kasus-kasus di KPK harus dituntaskan.

Dalam rancangan revisi UU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015), pengaturan soal penghentian perkara diatur di pasal 42. Berikut bunyinya: Pasal 42; Komisi Pemberantasan Korupsi BERWENANG MENGELUARKAN Surat Perintah Penghentian Penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi setelah diketahui tindak pidana korupsi yang sedang ditanganinya tersebut tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagaimana diatur pada pasal 109 ayat (2) KUHP.

Pengaturan soal kewenangan penyadapan ini termaktub dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a draf RUU KPK usulan DPR.

"Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri," demikian bunyi pasal yang dikutip detikcom, Rabu (7/10/2015).

Jika dilihat dari bunyi pasal itu, maka KPK baru bisa melakukan penyadapan pada tingkat penyidikan. Padahal, selama ini KPK banyak menyadap saat kasus berada di tingkat penyelidikan. Di tahap penyelidikan itu pulalah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan. Rekaman sadapan menjadi senjata ampuh dalam OTT.

Sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf a UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, KPK tak perlu izin hakim untuk melakukan penyadapan. Hasilnya, para koruptor termasuk beberapa oknum hakim berhasil ditangkap, salah satunya berdasarkan rekaman sadapan.

Merujuk pada Pasal 39 ayat 2 dalam draf RUU KPK yang diajukan DPR, sebagaimana dikutip pada Rabu (7/10/2015), Dewan Kehormatan KPK berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan pegawai dan komisioner KPK. Dewan Kehormatan beranggotakan 9 orang yang terdiri dari unsur pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat.

"Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang yang tidak memenuhi standar penggunaan wewenang yang telah ditetapkan dan menjatuhkan sanksi administrasi dalam bentuk teguran lisan dan tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian dari pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi dan pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh komisioner KPK dan pegawai pada KPK," demikian bunyi pasal tersebut.

Anehnya, dalam draf RUU ini juga masih diatur terkait adanya pengawas internal KPK. Kewenangan pengawas internal di KPK hampir sama dengan kewenangan yang dimiliki Dewan Kehormatan usulan DPR. Selama ini, pengawas internal juga memeriksa dan memberikan sanksi kepada para pegawai KPK yang menyalahi kode etik. Jika ada pimpinan yang menyalahi kode etik, maka dibentuklah komite etik yang akan melakukan pemeriksaan dan menyidangkan secara terbuka.

Selanjutnya, seperti diatur dalam draft RUU KPK yang diajukan DPR ke Baleg, kewenangan penuntutan yang selama ini dimiliki KPK akan dihapus. Namun, dalam UU tidak diatur bagaimana mekanisme selanjutnya.

Dalam Pasal 51, disebutkan bahwa saat penyidikan selesai, para penyidik akan menyampaikan laporan ke pimpinan KPK. Setelah itu, tidak disebutkan lagi mekanisme setelah berkas sampai ke pimpinan.

"Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti," demikian bunyi Pasal 51.

Di bagian berikutnya dalam draft ini, tiba-tiba langsung jumping kepada kewenangan penuntut umum pada kejaksaan. Padahal, pada bagian sebelumnya tidak disebutkan adanya mekanisme pelimpahan berkas dari penyidik KPK ke penuntut umum pada kejaksaan.

"Penuntut adalah Jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim," bunyi Pasal 53 ayat 1.

Padahal, dalam UU 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku saat ini, lembaga anti korupsi itu diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, sekaligus penuntutan. Hasilnya, penanganan kasus di KPK lebih efektif dan memiliki rekor 100% menang.

Di rancangan revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR, KPK difokuskan untuk pencegahan. Padahal selama ini KPK sangat dahsyat dalam pemberantasan korupsi.

"Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi," bunyi pasal 4 rancangan revisi UU KPK yang dikutip detikcom, Selasa (6/10/2015).

Sementara itu, pasal 3 berbunyi 'Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.'

Kini revisi UU KPK pun jadi pro kontra. Presiden Jokowi pernah menolak revisi UU KPK karena dianggap melemahkan KPK. Lalu apakah kali ini pemerintah juga tak akan setuju dengan usul DPR merevisi UU KPK ini?

Menurut pengamatan, draf revisi UU KPK ini tak hayal bakal meluluhlantakkan keperkasaan KPK yang selama ini sudah dikatakan berhasil menekan angka korupsi di Tanah Air. Ini terbukti dengan banyaknya pelaku korupsi masuk kerangkeng.

Lalu pertanyaannya, apakah selama ini mereka (petinggi negara, red) gerah akan sepak terjang lembaga anti rasuah ini? Sehingga beberapa kali KPK digoyang dengan diusungnya draf revisi KPK yang pada hakikatnya melemahkaan kinerja KPK.

Tentunya kita sudah mengetahui, hingga hari ini KPK terus melanjutkan beberapa kasus besar yang melibatkan petinggi negara, maupun mantan petinggi negara di republik ini. Bak cacing kepanasan, mereka ‘berteriak’ bahwasanya KPK tidak diperlukan lagi, karena sudah ada dua lembaga yang bisa menggantikan peran lembaga anti rasuah tersebut.

Padahal, semuanya tahu, dua lembaga yang dimaksud hingga kini masih belum menunjukkan taringnya untuk menangani kasus-kasus besar, khususnya mengenai korupsi di negeri ini.  Tapi apa lacur, usulan draf revisi UU KPK kini sudah di ‘meja’ DPR.

Alhasil, keberadaan atau keberlangsungan KPK perlu dipertahankan dalam semangat memberantas korupsi nampaknya akan tergerus oleh kesepakatan politik fraksi-fraksi di Senayan.

Kita hanya berharap, kewenangan KPK tidak dipangkas, melainkan memberikan kekuatan penuh agar pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga anti rasuah terus berjalan seperti sekarang ini. Mari kita berpikir positif, dan memandang KPK sebagai kawan, bukan lawan yang harus diberangus.

*) Penulis adalah pemerhati sosial kemasyarakatan.