Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pola Pengisian DIPA Dinilai sebagai Biang Kerok Lambatnya Penyerapan Anggaran di Daerah
Oleh : Surya
Rabu | 02-09-2015 | 19:25 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyatakan, lambatnya penyerapan anggaran TA 2015 di berbagai daerah, karena pola pengisian DIPA yang dipakai selama ini kurang tepat.


Jeda waktu antara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dengan penyerahan pelaksanaan (Juklak) maupun petunjuk teknis (Juknis) atau opesional sangat lama.

Akibatnya, penyerapan anggaran Tahun 2015 ini hanya sekitar 26,2 %  atau Rp 208,5 triliun dari pagu Rp 795,5 triliun dan per Juli 30 Juli rata-rata 25,9 % dan realisasi belanja APBD kabupaten/kota rata-rata 24,6 %.

“Setiap tanggal 2 Januari pemerintah pusat menyerahkan DIPA ke pemerintah daerah, dan baru pada Juni dikirim Juklak dan Juli dikirim Juknisnya. Setelah itu, sepanjang Agustus dilakukan asistensi. Bulan September dilakukan perencanaan. Baru Oktober mulai proyek atau pembangunan. Bahkan, ada yang masuk November baru mulai pembangunan. Padahal, tutup buku anggaran adalah Desember," tegas Adrianus Garu, Anggota Komite IV DPD RI di Jakarta, Rabu (2/9/2015).

Dalam Dialog Kenegaraan bertema 'Lambatnya Serapan Anggaran 2015' bersama Anggota Komisi VI DPR RI dari F-PG Agun Gunandjar Sudarsa dan Direktur INDEF Enny Sri Hartati, Andrianus mengatakan, jika pola pengisian DIPA-nya masih seperti ini, maka proyek-proyek di daerah pasti selalu gagal karena waktu pengerjaannya singkat dan pengerjaan akan terkesan asal-asalan.

"Jadi, memang anggaran itu baru mulai terserap Oktober ke atas. Tidak salah kalau terjadi seperti sekarang ini, yaitu lambatnya penyerapan anggaran pada semester I. Maka pola ini harus dirubah,” ujarnya.

Guna mengefektifkan penyerapan anggaran di daerah, Andrianus berharap, hasil Musrembangnas diusulkan bisa langsung menjadi UU.
Sebab, Musrembangnas adalah forum tertinggi untuk perencanaan pembangunan sehingga tidak perlu UU APBN.

"Model seperti itu bisa menghasilkan pembangunan atau proyek sesuai dengan aspirasi masyarakat atau daerah, karena Musrembang adalah perencanaan yang dibutuhkan rakyat. Bukan proyek titipan seperti seringkali terjadi pada pembahasan APBN,” tandasnya.

Agun Gunanjar menambahkan, lambannya penyerapan anggaran pembagunan di daerah tidak hanya kali ini saja terjadi, tapi sudah terjadi sejak awal eformasi. 

Sebenarnya kepala daerah, kata Agun, tidak perlu takut kena pidana ketika menjalankan kewenangannya dalam rangka memaksimalkan penyerapan anggaran, karena UU No.30 Tahun 2013 tentang Keuangan Negara memberikan kewenangan diskresi bahwa kebijakan adminstrasi, bukan masuk ranah pidana.

"Jadi ada ketidakpahaman birokrasi pusat dan daerah dalam menjalankan kewenangannya. Padahal, sudah ada diskresi kewenangan keuangan negara. Kalau administratif, bukan pidana," kata Agun.

Sementara Enny Sri Hartati menila ada inkonsistensi dalam program penganggaran pembangunan ini terjadi inkonsistensi, sehingga penyerapan anggarannya bermasalah dan terlambat. 

"Seharusnya Musrembangda dulu baru Musrembangnas, karena Musrembangda akan menjadi basis untuk Musrembangnas. Jangan semua diputuskan di meja Jakarta, sementara pelaksanaan APBD di daerah," kata Enny.


Editor: Surya