Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Seri Reshuffle Kabinet-3

Chatib Basri, Jongos Asing yang Sangat Setia
Oleh : Opini
Jum'at | 26-06-2015 | 09:26 WIB

Oleh : Edy Mulyadi


NAMA ketiga yang juga mencuat di tengah gosip reshuffle kabinet untuk posisi menteri di jajaran ekonomi adalah Chatib Basri. Pria kelahiran Jakarta pada 22 Agustus 1965 ini dikenal sebagai penganut sekaligus pejuang ekonomi mazhab neolib yang setia dan tangguh.

Mungkin, publik selama ini hanya fokus pada Boediono dan Sri Mulyani Indrawati sebagai komparador majikan asingnya; IMF, Bank Dunia, ADB, dan perusahaan multinasional (MNC). 

Chatib sepertinya luput dari perhatian publik. Mungkin dibandingkan sang God Father Boediono dan Sri Mulyani Indrawati (SMI) dia dianggap sebagai “anak bawang”. Padahal, pemikiran-pemikirannya ketika masih jadi pengamat ekonomi sangat gamblang menjelaskan betapa setianya Chatib dengan neolib.

Konsistensinya pada mazhab ekonomi neolib yang banyak menyengsarakan nasib rakyat negara-negara berkembang itu, mulai mendapat saluran ketika duduk di lingkar kekuasaan. Sejumlah jabatan penting pernah disandangnya. Antara lain, penasehat khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia (2006-2010), Sherpa Indonesia untuk G-20 (2008), dan Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 (2006-2010), dan akhirnya menjadi Menteri Keuangan.

Kemampuan mengeksekusi berbagai kebijakan yang menguntungkan majikan asingnya tersebut makin terwujud saat menjadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Juni 2012. 

Parkirnya Dede di BKPM menjadi jaminan lancarnya komunikasi para investor asing dalam pengamanan dan pengembangbiakan aset-investasi mereka di Indonesia. Saat itulah BKPM lagi-lagi menjadi jembatan kepentingan asing terhadap Indonesia.

Kantongi saja nasionalismemu!
Dede, begitu dia akrab disapa, pernah mengeluarkan pernyataan yang menggegerkan publik. “Kantongi saja nasionalismemu itu.” Pernyataan kelewat berani tersebut, paling tidak, disampaikannya saat diskusi tentang divestasi PT Indosat di sebuah stasiun televisi swasta bersama, antara lain, ekonom Ichsanuddin Noorsy.

Saat menjadi saksi ahli pada sidang Mahkamah Konsititusi (MK) yang tengah menyidangkan gugatan atas UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan,  dia juga menyatakan, Kantongi dahulu nasionalismemu. Tidak ada tempat lagi bagi nasionalisme dan kedaulatan ekonomi di tengah terang benderangnya arus globalisasi,” ujarnya lantang sebagai tanggapan kepada para ekonom pengritik pemerintah yang disebutnya  ekonom nasionalis yang berpikiran sempit dan picik. Luar biasa!

Rekam jejak ekonom lulusan Universitas Indonesia (UI) ini memang sarat dengan pengabdian kepada para majikan asingnya. Entah apa yang ada di pikiran dan nuraninya (kalau masih ada?) Dia sepertinya tidak peduli, bahwa pikiran-pikiran neolib itu sesat dan menyesatkan karena menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia, saudara setanah air yang mestinya dia cintai.

Noorsy punya catatan lumayan komplet yang dibagikannya kepada publik, tentang sepak terjang Dede yang sangat setia dan gigih pada rezim neolib.  Cerita itu antara lain, saat MK membatalkan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan pada 15 Desember 2004. Pembatalan UU itu membuat pemerintah RI merasa kredibilitasnya terganggu di mata investor asing dan negara-negara OECD. 

Pemerintah tidak ingin hal serupa terjadi pada UU No. 22/2001 tentang Migas yang juga tengah dimohonkan pembatalannya di MK.  Untuk itu, pemerintah mengutus Rizal Malarangeng, Moh Ikhsan, dan Chatib melobi Ketua MK Jimly Assidqie agar UU Migas tidak bernasib sama.  Gerilya itu dengan benderang, betapa Dede dan rekan-rekannya sangat berpihak pada liberalisasi perekonomian. 

Dia juga diketahui sangat gigih saat menjadi saksi ahli pemerintah pada sidang gugatan pembatalan UU Penanaman Modal.  Bersama Faisal Basri dan Umar Juoro, dia berargumen, bahwa perbaikan UU Penanaman Modal dibutuhkan karena ditujukan untuk membuka lapangan kerja. 

Sebaliknya Noorsy yang menjadi saksi ahli penggugat, menyodorkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, bahwa pada 2005-2007 UMKM menyerap lapangan kerja hingga 97,2% dengan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 54-56%. 

Pada Pansus Bank Century, Chatib dengan tegas membela kebijakan yang terindikasi memenuhi unsur pidana itu. Dia hanya mengakui skandal Century adalah bukti lemahnya pengawasan perbankan.

Lobi-lobi asing
Catatan penting yang perlu dikedepankan di sini adalah, ditunjuknya Dede sebagai Menkeu bukan karena dia memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai Menkeu. Ini adalah hasil lobi politik tingkat tinggi, yang melibatkan IMF, WB, ADB, dan MNC agar tetap ada pemegang estafet Mafia Berkeley di pusat kekuasaan. 

Ironisnya, langkah itu jadi kian mudah karena peran antek lokal yang membukakan pintu gerbang benteng nasionalisme dan kedauluatan ekonomi. Mereka ini dikomandani Wapres (waktu itu) Boediono dan para begundalnya, antara lain Sri Mulyani.

Dalam posisinya sebagai Menkeu, Dede harus melaksanakan beberapa agenda wajib neoliberalisme. Pertama, penghapusan subsidi-zero subsidi. Kedua, menjaga liberalisasi sektor keuangan dan pasar dengan meminimalkan prokteksi barang dan jasa impor. 

Dampak liberalisasi ini dahsyat. Tidak ada lagi ketahanan pangan dan barang produk dalam negeri. Ketiga, menjual (dikemas dengan frase privatisasi) BUMN demi alasan efisiensi dan efektivitas. Keempat, mencari utangan, baik di dalam maupun luar negeri sebesar-besarnya dengan dalih untuk menutup defisit APBN. 

Begitulah potret anak negeri bernama Chatib Basri. Akankah Jokowi memasukkan anak muda yang menjadi jongos para majikan asingnya itu ke kabinet hasil reshuffle  kelak? Kalau kekhawatiran ini terbukti, maka apa bedanya Jokowi dengan para antek tadi? Bukankah sebagai Presiden, dia seharusnya bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyat negeri bernama Indonesia? Negeri tempat dia diberi amanat sebagai Presiden. Negeri yang menjadi tanah air tumpah darahnya sendiri. 

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)