Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ratusan Juta Konsumen Tiongkok Beralih ke Belanja Online
Oleh : Redaksi
Senin | 15-06-2015 | 08:17 WIB
ilustrasi_online_shoping.gif Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM - SETELAH mengecap manisnya penjualan di Tiongkok selama tiga dasawarsa, Unilever tahun lalu mulai harus merasakan pahit. Laporan penjualan pada Oktober menunjukkan penurunan penjualan kuartal ketiga. Pada triwulan selanjutnya, perusahaan mengumumkan kemerosotan lagi sebesar 20 persen.

Faktor menentukan dalam penurunan adalah migrasi ratusan juta konsumen Tiongkok ke platform belanja online. Tidak hanya di Tiongkok eksodus calon pembeli ke ranah daring mengguncang para peritel–penjualan e-commerce bernilai $1,3 triliun pada 2014. Namun, desakan di Tiongkok lebih kuat berkat penetrasi smartphone.

Sekitar 461 juta konsumen di Tiongkok, sepertiga dari jumlah penduduk, kini berbelanja secara online, naik dari 46 juta pada 2007 saat e-commerce mulai menghangat. Tahun lalu, pasar e-commerce Tiongkok tumbuh 49 persen setelah raihan 59 persen, 51 persen, dan 70 persen tiga tahun sebelumnya secara berturut-turut.

Hampir setengah konsumen Tiongkok berbelanja kebutuhan pokok secara online–konsumen global yang beraktivitas demikian hanya seperempatnya. Salah satu tanda membengkaknya jumlah konsumen online dapat terlihat dari jauh berkurangnya jumlah pengunjung pusat perbelanjaan.

Mengerucutnya peran peritel tradisional merugikan perusahaan produk konsumen raksasa. "Suka atau tidak, e-commerce akan mengubah bisnis," ujar Reinhold Jakobi, direktur makanan dan minuman Nestle Tiongkok. "(Ranah) online membuat tiap orang punya ruang sama (dalam satu layar)."

Wal-Mart, salah satu peritel terkemuka, kini berupaya menghubungkan toko-tokonya dengan Yihaodian, unit usaha online.

Penjualan barang konsumen dari 100 rantai peritel teratas menyumbang 8 persen total penjualan pada 2014, turun dari 11,2 persen pada 2009, demikian penelitian DTZ.

Bagi Unilever, yang bergantung kepada pasar berkembang untuk 60 persen pendapatannya, penurunan tingkat penjualan di Tiongkok berkontribusi 2,7 persen penurunan pendapatan global tahun lalu. Salah satu hal yang memperburuk situasi adalah minimnya informasi mengenai kian lambatnya pergerakan produk-produknya.

Saat jumlah pengunjung toko berkurang, sejumlah peritel diam-diam mencurahkan produk-produk ke agen, yang kemudian menjualnya secara daring dengan menawarkan rabat.

Unilever membuka toko online pertamanya di laman Alibaba pada 2009. Namun, dibandingkan Procter & Gamble, pergerakannya kurang dinamis. Itu sebabnya produk-produk Unilever sulit didapatkan serta mempengaruhi peringkat pencarian Alibaba. (*)

Sumber: WSJ