Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Industri Ritel di Indonesia Masih Menjanjikan
Oleh : Redaksi
Sabtu | 06-06-2015 | 08:55 WIB
ilustrasi_swalayan.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi/net

BATAMTODAY.COM - DI MATA para peritel, Indonesia masih memiliki reputasi cukup baik. Setidaknya menurut indeks ritel global tahunan yang dirilis firma konsultasi AT Kearney. Dari 30 negara berkembang yang disurvei, Indonesia berhasil naik tiga peringkat dan menduduki posisi 12.

Menurut laporan itu, infrastruktur baru, peningkatan ekspansi dari para peritel ke kota lebih kecil, serta ramalan pertumbuhan positif menjadi sejumlah pemicu.

Namun demikian, Indonesia harus melakukan banyak upaya untuk bergeser dari papan tengah klasemen.

AT Kearney menyusun peringkat ini berdasarkan perhitungan faktor daya tarik pasar, risiko, kejenuhan pasar, serta laju pertumbuhan. Cina untuk kali pertama sejak 2010 menguasai puncak daftar dengan proyeksi pertumbuhan pasar ritel senilai $8 triliun pada 2022 serta melewati Amerika Serikat sebagai pasar ritel terbesar pada 2018. Negara Asia yang masuk ke dalam 10 besar di antaranya Mongolia (5) dan Malaysia (9).

Menurut laporan tersebut, salah satu tantangan terbesar bagi industri ritel Tanah Air adalah infrastruktur terbatas. Jika tidak dibenahi, ongkos distribusi barang dan orang akan meningkat.

Menurut John Kurtz, presiden direktur AT Kearney Indonesia, kemacetan Jakarta "menghambat calon pembeli".

Bagi para peritel yang berupaya memasukkan barang ke Indonesia, hambatan non-tarif dan kepabeanan menambah masalah. "Semua masalah logistik itu menyulitkan industri ritel karena rendahnya marjin operasional."

Sektor e-commerce pun melihat peluang akan pertumbuhan besar di Indonesia.

Menurut laporan itu, infrastruktur baru, peningkatan ekspansi dari para peritel ke kota lebih kecil, serta ramalan pertumbuhan positif menjadi sejDari sekitar 75 juta pengguna Internet di Indonesia tahun lalu, 5,9 juta berbelanja secara daring, demikian laporan dari firma logistik global SingPost. Indonesia E-commerce Association, idEA, menaksir bahwa transaksi e-commerce di tanah air akan berlipat tiga dari $8 miliar pada 2014 menjadi $25 miliar pada 2016.

Tahun lalu, total penjualan ritel mencapai $326 miliar, turun tipis dari 2013 yang mencapai $337 miliar.

Lambatnya pertumbuhan serta regulasi yang menghambat ekspansi ritel dapat menekan pasar. Kementerian Perdagangan, contohnya, telah membatasi jumlah waralaba yang dapat dimiliki sebuah perusahaan.

Di sisi lain, pertumbuhan ritel modern di Indonesia sebagian besar didorong keberadaan minimarket seperti Alfamart. Brand asing seperti H&M dan Uniqlo juga memperluas kiprah mereka, sementara pemain baru di pasar tanah air seperti American Eagle Outfitters dan WHSmith terus berdatangan.

Meski mata uang rupiah melemah dan inflasi melambung, Kurtz mengatakan prospek jangka menengah masih menjanjikan.

"Perkembangan di kota lapis kedua dan ketiga....di Indonesia baru saja dimulai," paparnya.

Kurtz juga menekankan kesiapan warga Indonesia bertransaksi via ponsel serta memercayakan uang kepada e-commerce. "Demografinya kuat, dari sisi daya belanja juga kuat," tandasnya. (*)

Sumber: WSJ