Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pelaksanaan FTZ di BBK Gagal Beri Stimulus untuk Pertumbuhan Industri dan Ekonomi di Kepri
Oleh : Surya
Selasa | 26-05-2015 | 13:46 WIB
2015-05-26 13.55.41.jpg Honda-Batam
Anggota DPD RI asal Kepri, Djasarmen Purba.

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Dalam UU No.36 Tahun 2000 yang telah diubah terakhir dengan UU No.44 tahun 2007, disebutkan bahwa Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (FTZ) adalah suatu kawasan yang berada di wilayah hukum NKRI yang terpisah dari daerah pabean.


Sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk (BM), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan cukai. 

Bahkan untuk FTZ Batam diperkuat melalui Keppres No.10 Tahun 1978 yang memberikan kewenangan penuh pengelolaan dibawah naungan Otorita Batam (sekarang Badan Pengusahaan Batam).

Namun, Senator Djasarmen Purba dalam Laporan Kegiatan di Daerah beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa perkembangan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun (BBK) tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan dan ditargetkan oleh pemerintah pusat.

"Fasilitas pembebasan PPN, PPH dan Bea Masuk oleh pusat diharapkan menjadi insentif dan stimulus bagi investasi di kawasan BBK. Faktanya tidak mampu menghadirkan dan menjadikan BBK sebagai pusat produksi, rantai supply dan warehouse material dunia, meskipun perairan Kepulauan Riau berada di poros lalu lintas perdagangan ASEAN da Asia." kata Djasarmen, Selasa (26/5/2015).

Anggota Komite II DPD RI ini mengatakan, persoalan utama tidak berjalannya program Kawasan Perdagangan Bebas di BBK disebabkan karena pemerintah dan dunia usaha tidak mampu meningkatkan basis teknologi manufaktur dan konstruksi untuk melakukan industri produksi dasar untuk perminyakan dan marine (perkapalan).

Contohnya, adalah industri manufaktur industri pipa dan plat baja (master plate), dimana hampir seratus persen diimpor dari luar Batam, akibatnya industri di Provinsi Kepri tidak ubahnya hanya menjadi industri 'tukang jahit' saja.

Sektor manufaktur, katanya, juga tidak mampu memproduksi barang-barang elektronik dengan berbagai merek internasional (world brand) seperti Nokia, Lenovo, Sony Ericson atau Samsung sekalipun.

"Manufaktur BBK seolah-olah mentok pada produksi barang-barang dengan kategori komponen atau sub assemblies saja seperti motor, batteray dan resistor saja. Belum ada barang jadi walaupun data menunjukkan untuk konsumsi dalam negeri saja pengguna handphone nasional sudah mencapai 20 juta unit perbulan pertahunnya," ujar Djasarmen.

Senator asal Kepri ini juga menegaskan, FTZ BBK juga tidak bisa menguasai sektor mata rantai (supplay chain) dan warehouse (pergudangan) untuk mendukung kebutuhan industri Migas dan maritim dunia.

"Dua hal ini seolah menjadi monopoli tunggal negara Singapura dan Malaysia untuk regional ASEAN," katanya.

Persoalan lain dari kegagalan pelaksaaan FTZ di BBK, adalah FTZ di Batam tidak didukung ketersediaan lahan dan lahan penyangga. Sementara untuk FTZ di Bintan dan Karimun tidak memiliki kesiapam dari segi struktur organisasi dan anggaran.

"Sampai saat ini Badan Pengelola untuk Bintan dan Karimun belum terbentuk, masih ex officio Gubernur Kepulauan Riau. Kendala utamanya adalah karena belum ada anggaran dari pusat untuk kedua daerah ini, sementara Batam sudah berkembang menjadi kota jasa dan perdagangan dengan tingkat kepadatan yang hari ke hari semakin bertambah," tandasnya.

Editor: Surya