Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ConocoPhillips Harus Evaluasi Pengelolaan SDM
Oleh : Nursali
Jum'at | 15-05-2015 | 16:29 WIB
abdi_suhufan.jpg Honda-Batam
Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional DFW-Indonesia. (Foto: ist)

BATAMTODAY.COM, Tarempa - Kisruh terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) antara karyawan kontrak dengan pihak ConocoPhillips yang berdampak pada aksi demonstrasi warga dengan menduduki bandara Matak beberapa waktu lalu, harus menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak. Sebab, aksi tersebut memberikan dampak yang cukup besar, bukan saja di pihak Conocophillips karena telah mengganggu jam operasional perusahaan, tapi juga bagi aktivitas penerbangan lain serta warga Anambas secara umum.

"Oleh karena itu, untuk tidak mengulangi kejadian yang sama, pihak Conocophilps perlu melakukan evaluasi terhadap strategi pengelolaan sumber daya manusia yang ada saat ini, dikaitkan dengan kebutuhan dan kondisi perusahaan," kata Moh Abdi Suhufan, Koordinator Nasional Destructif Fishing Watch (DFW)-Indonesia, melalui siaran pers yang diterima BATAMTODAY.COM, Jumat (15/5/2015).

Menurutnya, keputusan PHK merupakan langkah terakhir yang diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek terkait regulasi, strategi korporasi, efisiensi dan yang lainnya. Sementara merujuk pada ISO 26000, maka aspek ketenagakerjaan merupakan salah satu dari tujuh prinsip dasar yang menjadi concern dalam pelaksanaan CSR perusahaan.

"Momentum ini bisa menjadi bahan evaluasi internal Conocophillips untuk memperbaiki tata kelola perusahaan berdasarkan panduan dan prinsip ISO 26000," kata Abdi.
 
Dia menambahkan, untuk menjaga tidak terulangnya masalah ini di masa yang akan datang, maka perlu dipahami bahwa masalah ini muncul karena minimal tiga hal. Pertama, adanya solidaritas terhadap sesama pekerja yang dinilai telah diperlakukan secara kurang adil oleh perusahaan. Kedua, perbedaan persepsi tentang perundangan dan  peraturan pemerintah.

Dan ketiga, adanya tuntutan baru lainnya yang muncul seiring dengan meningkatnya pengetahuan pekerja tentang hak-hak mereka.

"Solusinya adalah pihak perusahaan dan pekerja serta pemda mesti duduk bersama merujuk UU Ketenagakerjaan dan ketentuan pemerintah lainnya  yang mengatur hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan. Selain itu secara kondisional, bisa merujuk pada perjanjian atau peraturan antara karyawan dan perusahaan yang mengatur hubungan kerja," tuturnya.
 
Langkah pihak Conocophillips yang sudah memberikan dan mensosialisasikan rencana PHK sebelum keputusan diambil sudah merupakan langka yang tepat. Sayangnya, kebijakan tersebut mungkin tidak disertai dengan upaya sosialisasi dan dialog yang cukup dengan pihak karywan.

"Akibatnya skema bantuan dan fasilitasi perusahaan untuk memberikan pelatihan dan bantuan modal usaha akhirnya tidak mendapatkan respon yang positif. Pemda Anambas di satu sisi terlambat mendeteksi masalah ini, sehingga strategi 'pemadam kebakaran' yang ditempuh pemda terbukti tidak cukup efektif dan menjadi solusi," jelasnya.

Karena itu, imbuhnya, di masa yang akan datang, kebijakan tenaga kerja dan pengelolaan sumber daya manusia Conocophillips mesti menjadi bagian integral dalam pelaksanaan CSR serta peran pemda perlu terus secara aktif melakukan mediasi tripartit, bukan saja ketika masalah muncul tetapi untuk menjaga dialog yang lebih adil dan terbuka antara pihak perusahaan dan karyawan.

"Jika tidak ada perbaikan, kasus ini akan terulang kembali dan ongkos sosial dan ekonomi yang akan ditanggung akan lebih besar. Dan ketika itu terjadi, maka semua pihak akan mengalami kerugian," terangnya. (*)

Editor: Roelan