Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tanggapi Keluhan Pengusaha

BI Kepri Tunggu Surat Edaran dari Pusat Soal Penggunaan Mata Uang Asing
Oleh : Roni Ginting
Senin | 27-04-2015 | 14:28 WIB
Gusti_Raisal_Eka_Putra,_Kepala_Bank_Indonesia_Provinsi_Kepri.jpg Honda-Batam
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kepulauan Riau, Gusti Raizal Eka Putra.

BATAMTODAY.COM, Batam - Menanggapi kebingungan dari pengusaha tentang larangan Bank Indonesia tentang pemasangan tarif maupun kontrak menggunakan mata uang asing, yang berbeda dengan pernyataan Menteri Keuangan, Bank Indonesia Perwakilan Kepri mengatakan masih menunggu surat edaran untuk pelaksanaannya.

Kepala Bank Indonesia Perwakilan Kepulauan Riau, Gusti Raizal Eka Putra, mengatakan, hingga saat ini penerapannya masih sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI).

"Namun kita akan melihat problem yang dihadapi di lapangan. Bisa koordinasi dan mendiskusikan," kata Gusti Raizal, Senin (27/4/2015).

Selain itu, lanjut Gusti, pihaknya masih menunggu surat edaran tentang pelaksanaan yag dijadwalkan akan dikeluarkan dalam waktu dekat.

"Kita lagi menunggu surat edaran, dalam bulan ini keluar. Itu akan lebih memperjelas lagi bagaimana pelaksanaannya," ujarnya.

"Kalau ada masalah, rekan pengusaha bisa berkordinasi dengan kita," tambah Gusti.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kepri berharap Pemerintah membuat kebijakan khusus soal penggunaan mata uang asing di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Free Trade Zone Batam, Bintan dan Karimun (FTZ-BBK). Pasalnya, kebijakan yang dijalankan saat ini masih membingungkan bagi pengusaha. (Baca: Pengusaha di Kawasan Perdagangan Bebas Butuh Kebijakan Khusus Soal Valuta Asing)

Cahya, Ketua Apindo Kepri, menilai penggunaan mata uang asing yang disosialisasikan Bank Indonesia (BI) kepada pengusaha, berbeda dengan penyampaian Menteri Keuangan RI, Bambang Brodjonegoro saat berkunjung ke Kanwil DJBC Khusus Kepri di Tanjung Balai Karimun.

Dikatakan Cahya, Menteri Bambang Brodjonegoro menyampaikan Pemerintah tidak mempermasalahkan harga atau tarif dipasang dalam dolar, asal pembayaran dilakukan dengan rupiah. Pernyataan ini, kata Cahya, disampaikan Menteri Keuangan pada Jumat (24/4/2015) di Kanwil DJBC Kepri, di Karimun.

Sementara, sambung Cahya, sebelum adanya pernyataan Menteri Keuangan, BI telah menyosialisasikan larangan memasang tarif atau kontrak dalam dolar. Semua transaksi baik pemasangan tarif maupun kontrak harus menggunakan rupiah.

"Ini sangat membingungkan pengusaha di Kepri. Tak tahu mau ikut kebijakan yang mana," kata Cahya, mewakili suara pengusaha ke Kepri, Senin (27/4/2015) pagi.

Menurutanya, Kepri yang berbatasan langsung dengan negara Singapur dan Malaysia, sudah terbiasa transaksi menggunakan dolar dan ringgit. Hal ini pun, kata dia, sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, terlebih dengan adanya status FTZ, hampir semua kontrak perusahaan yang beroperasi di wilayah Kepri menggunakan United States Dollar (USD) dan Singapore Dollar.

"Kami berharap ada sebuah kebijakan yang khusus untuk Kepri, terutama di wilayah FTZ. Supaya penerepannya tidak mengganggu roda perekonomian," katanya.

Apindo, kata Cahya, menundukung penuh langkah Pemerintah menerapkan wajib rupiah, agar tidak terpuruk seperti sekarang ini. Namun, Pemerintah juga tentu harus mempertimbangkan fator perbatasan dan FTZ - BBK yang sudah berjalan lama.

Dilanjutkannya, dukungan wajib rupiah itu selalu mereka sampaikan dalam beberapa kesempatan pertemuan dengan BI. Apindo berpendapat, kontrak dan invoice masih diperbolehkan dengan dolar, tetapi pembayaran wajib menggunakan rupiah.

"Kontrak dan invoice biasanya dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, bisa 3-6 bulan atau tahunan. Jadi, pengusaha tidak mungkin diminta gambling soal kurs rupiah," jelasnya.

Bagi Apindo, kata Cahya, pihaknya lebih setuju dengan pernyataan Menteri Keuangan RI, yang masih memperbolehkan memasang tarif dengan dolar, asal pembayaran dengan rupiah. Hal ini, katanya, sama dengan penyampaian Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla saat berkunjung ke Batam, belum lama ini.

"Ini yang perlu dijelaskan oleh BI, agar tidak terjadi misunderstand serta menimbulkan keraguan dan keresahan di kalangan pengusaha," pungkasnya.

Editor: Dodo