Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Politisi Gerindra Desak Menteri ESDM Mundur Jika Paksa Hapus Premium
Oleh : Surya
Rabu | 22-04-2015 | 18:20 WIB

BATAMTODAY, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Gerindra Ramson Siagian mendesak menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said mundur dari jabatannya jika masyarakat dipaksa menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite. 

Ramson menilai kebijakan tersebut akan membuat rakyat semakin menderit, jika BBM jenis Premium dihapuskan.

“Kebijakan itu sangat menyulitkan rakyat. Saya akan tuntut menteri ESDM mundur. Kalau dipaksanakan premium dihilangkan dari pasar dan tidak ada alteratif menteri ESDM harus mundur,” kata Ramson di DPD RI, Rabu, (22/4/2015).

Dalam kesempatan itu Ramson juga mengatakan bahwa kebijakan pemerintah memaksa rakyat menggunakan BBM jenis Pertalite sangat berpotensi mengancam stabilitas dalam keamanan dalam negeri. 

Dengan semakin tingginya harga BBM jenis tersebut tentu rakyat semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasarnya.  â€œ Itu kebijakan yang berbahaya. Rakyat sudah sulit akn semakin sulit lagi,” ujar Ramson.

Apalagi, sambung Ramson, negara maju seperti Amerika Serikat saja hingga kini masih menggunakan BBM sejenis premium yang mempunyai yang mempunyai Research Octane Number (RON) 88.  Meskipun BBM jenis itu digunakan oleh kendaraan usia lanjut dan kelas menengah. 

 â€œIni jelas mempersulit rakyat. Amerika masih menggunakan RON 88, 89 masih digunakan. Mobil tua masih pakai RON 88 dan mobil tidak mewah,” ujar Ramson .

Sedangkan Ahmad Erani Yustika dari Universitas Brawidjaja menegaskan jika sejak 1983, 1988 kebijakan ekonomi bangsa ini sudah didesign untuk mengikuti kebijakan multilateral (IMF, Bank Dunia, dan Amerika Serikat). 

Bahkan tahun 1994 membuat UU penanaman modal dan pada tahun 1998 menjelang krisis, sektor pertanian diserahkan ke pasar bebas sehingga kedelai dan jagung harganya turun tajam, drop, dan merugikan petani.

Tahun 2004 ada UU Migas yang intinya kata Ahmad Erani, untuk liberalisasi sektor energi. Karena itu satu-satunya yang tersisa bagi pemerintah adalah otoritas untuk menentukan harga. 

“Kalau produksi sudah ambruk, distribusi tidak dikuasai, dan subsidi terus dikurangi, makin sulit saja rakyat ini. Padahal, alasan untuk menyehatkan fiskal (APBN) itu salah. Untung Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan harga itu tak boleh mengikuti pasar,” ungkapnya.

Menurut Ahmad Erani, argumen yang dibangun selama ini ternyata ada agenda bahwa kepentingan pasar itu adalah kepentingan multilateral sekaligus membuka buldoser, mafia bagi Migas itu sendiri. Padahal, untuk produksi saja apa ada yang menjamin setiap harinya mencapai 820 ribu barel .

"Itu tak ada yang berani menjamin karena tak pernah ada yang memverifikasi. Juga soal recovery Rp 300 triliun, siapa yang berani mengaudit?” tanya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang itu.

Mestinya kata Ahmad Erani, pemerintah itu sadar di negara mana pun ketika BBM itu naik, seluruh kebutuhan dari konsumsi dan transportasi semuanya akan cepat naik dan ini menyulitkan rakyat. 

“Juga salah kalau subsidi BBM selama ini hanya dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas, justru kebijakan itu makin menyulitkan rakyat kecil dan ini menyimpang dari konstitusi. Lebih tragis lagi, Kemenkeu RI, Bank Indonesia, dan Bappenas adalah ketiga lembaga yang selalu mengagendakan agar programnya diadopsi pemerintah,” pungkasnya.

Editor: Surya