Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Matcha, Teh Hijau Bubuk yang Sedang Ngetrend di Amerika
Oleh : Redaksi
Kamis | 16-04-2015 | 11:47 WIB
matcha_voa.jpg Honda-Batam
Barista Teavana Riaunna Durham menyiapkan minuman matcha di Teavana Fine Teas + Tea Bar di Beverly Hills, California. (Foto: VOA)

BATAMTODAY.COM - Lebih dari seribu tahun lalu, biksu-biksu Buddha di Jepang memulai ritual menggiling daun-daun teh hijau menjadi bubuk, mencampurkannya dengan air panas diaduk dengan bambu, lalu teh diminum bersama-sama dari satu cangkir.

Di Amerika, kini matcha dibuat menjadi latte, ditaburkan di cheesecake, dicampur dengan cokat, dan bahkan bisa ditemukan dalam minuman bourbon. 

Teh hijau yang ditumbuk menjadi bubuk halus ini sedang populer di Amerika Serikat, seperti terlihat dengan banyaknya bar matcha di kota-kota besar mulai dari Los Angeles hingga New York dan peritel raksasa seperti Teavana mulai memproduksi jenis teh ini. Para chef menggunakan matcha dalam berbagai kreasi mereka, mulai dari kue, cocktail, menambahkan teh berwarna hijau cerah ini dengan cita rasanya yang lembut ke dalam berbagai kombinasi kuliner.

Direktur Teavana Annie Young-Scrivner bahkan menggunakan matcha untuk masker wajahnya.

"Luar biasa," katanya. "Mengencangkan wajah."

Meningkatnya permintaan akan matcha di Amerika Serikat berdampak memompa produksi tencha di Jepang. Tencha adalah nama daun teh hijau mentah yang kemudian ditumbuk menjadi matcha. Produksi tencha ini naik dua kali lipat di Kyoto dalam 10 tahun terakhir, meningkat dari 564 ton di tahun 2003 menjadi lebih dari 1.163 ton pada 2013. Tencha yang tadinya dipetik dengan tangan, kini diproduksi massal. Mesin-mesin khusus memetik daun di pohon dan menyingkirkan tangkai dan kerangka daun sebelum sisanya digerus dengan batu granit dan dimasukkan dalam kaleng-kaleng yang kemudian ditutup rapat.

Para pelaku industri berharap matcha suatu hari menjadi salah satu bahan yang ada di setiap dapur di Amerika, seperti halnya kecap asin yang mulai populer di Amerika setelah Perang Dunia Kedua. Mereka juga berharap sejarah kuliner teh ini yang kaya dan panjang tidak hilang seiring dengan semakin lazimnya produk ini.

"Idealnya, orang dapat belajar bagaimana caranya menyiapkan teh ini juga, tidak hanya meminumnya," kata Kazumi Nishiguchi, direktur asosiasi produsen teh di Kyoto. "Kami perlu mengekspor budaya ini juga. Dan penting bahwa ini dilakukan dengan tepat."
 
Matcha pertama-tama dikonsumsi pada era dinasti Tsang di China dan kemudian dibawa ke Jepang oleh para pendeta dan biksu. Orang Jepang lalu mengembangkan upacara teh yang diiringi doa dan meditasi dan membuat proses pembuatan matcha lebih sempurna. Tanaman-tanaman teh ditutupi dengan kain 2-4 minggu sebelum dipetik, saat tanaman sedang mengandung banyak klorofil dan nutrisi lainnya, sebelum kemudian dipanen. Para biksu menyukai matcha yang mempunyai efek menenangkan.

Menghindarkan daun teh dari sinar matahari langsung ternyata meningkatkan kadar amino acid, dan matcha mengandung 10 kali lipat antioksidan dibanding teh biasa. Matcha juga memberi energi, tapi dengan kadar kafein lebih rendah dibanding kopi.

Matcha pertama kali masuk ke pasaran Amerika Serikat melalui pasar swalayan Jepang di kota-kota seperti Los Angeles, yang memiliki populasi warga Jepang terbesar di luar Jepang. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi teh secara umum di Amerika meningkat: nilai penjualan teh di AS meningkat dari di bawah $2 miliar pada tahun 1990 menjadi lebih dari $10 miliar pada 2014, menurut laporan tahunan oleh Asosiasi Teh AS. Penjualan teh hijau masih belum melampaui teh hitam di pasaran, tapi mulai melonjak seiring dengan meningkatnya daya tarik teh-teh khusus seperti matcha.

Walaupun tren keseluruhannya naik, impor teh hijau ke AS turun 27 persen tahun lalu.

"Ini masih negara peminum kopi," kata Jonas Feliciano, manager klien di Grup Nielsen Perishables.

Beberapa produsen matcha di AS telah melaporkan pertumbuhan penjualan. DoMatcha, yang dijual di Whole Foods dan toko-toko khusus, naik penjualannya 30 persen, sementara penjualan Ippodo meningkat 20-25 persen dalam tahun-tahun belakangan dan membuka toko pertamanya di luar Jepang di New York pada tahun 2013. Waralaba seperti Starbucks juga kini menawarkan green tea latte dengan matcha, sementara Teavana menjual pengaduk matcha yang terbuat dari bambu.

Demam produk matcha juga terlihat di Jepang. "Produk-produk manis yang mengandung matcha ada di mana-mana," kata Kenichi Kano, direktur internasional Ippodo. "Kue matcha, coklat matcha, macaroon matcha."' 

Dengan semakin sibuknya orang Jepang, matcha yang siap diminum menggantikan upacara teh dan restoran bereksperimen dengan bubuk dan ekstrak matcha untuk es krim, bir dan minuman alkohol lainnya.

"Warga Jepang menghormati upacara teh tradisional," kata Rona Tison, wakil direktur Ito En, salah satu distributor teh hijau terbesar di dunia. "Tapi mereka bisa menjadi kebarat-baratan juga."

Sumber: VOA