Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Laporan IHPS Semester II-2014

BPK Sebut Pemerintah Pusat dan Daerah belum Siap Terapkan SAP
Oleh : Surya
Selasa | 07-04-2015 | 17:39 WIB
Harry azhar.jpg Honda-Batam
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Harry Azhar Azis

BATAMTODAY. COM, Jakarta - Pemerintah pusat dan daerah belum siap melaksanakan SAP (Sistem Akutansi Pemerintahan sehingga sangat lemah dalam sistem pengendalian internal (SPI).

Akibatnya dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) masih banyak ditemukan penyimpangan dalam penggunaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.

Hal itu disampaikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis saat menyerahkan menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) semester II-2014 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Sidang Paripurna di Jakarta, Selasa (7/4/2015).

Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan ada beberapa masalah yang menonjol.
Dia menyebutkan masalah yang menonjol antara lain penerapan SAP dan penerimaan pajak dari penerimaan migas, serta ketidakpatuhan KKKS atas ketentuan Cost Recovery.
"Pemerintah Pusat dan Daerah belum siap mendukung penerapan SAP berbasis akrual pada 2015 dalam penyusunan LKPP dan LKPD," kata Harry.

BPK, lanjutnya, menemukan masalah penerimaan pajak dan migas senilai Rp 1,124 triliun yang terdiri atas potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) migas minimal sebesar Rp 666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas tahun 2014 minimal sebesar Rp 454,38 miliar.

Ia mengatakan ketidakpatuhan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terhadap ketentuan Cost recovery telah mengakibatkan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 6,19 triliun.

Masalah lain, kata Harry, yang terjadi di pemerintah pusat adalah mengenai belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengakibatkan hasil proyek senilai RP 5,38 triliun tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan terdapat kerugian ngera senilai Rp 562,66 miliar.

Selain itu, Harry mengungkapkan, BPK juga menemukan Kementerian Pertanian (Kementan) tidak berhasil mencapai target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 20,05 persen per tahun dan target swasembada kedelai tahun 2014 sebanyak 2,70 juta ton tidak tercapai. Sedangkan terkait program subisi beras miskin (raskin), BPK menilai pelaksanaan program penyaluran subsidi beras miskin (raskin) belum sepenuhnya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan program tersebut.

Khusus pemeriksaan kinerja atas efektivitas layanan paspor pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), BPK menyimpulkan telah cukup efektif dalam pelayanan paspor, namun BPK menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan Payment Gateway (PG) yang mengabaikan risiko hukum.

Dalam laporannya, pada semester II-2014, BPK memeriksa 651 objek pemeriksaan, terdiri atas 135 objek pada pemerintah pusat; 479 objek pemerintah daerah dan BUMD; serta 37 objek BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaannya, terdiri atas 73 objek pemeriksa keuangan, 233 pemeriksaa kinerja, dan 345 pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

"Dari pemeriksaan atas 651 objek pemeriksaan tersebut BK menemukan sebanyak 7.950 temuan pemeriksaan yang di dalamnya terdapat 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan senilai Rp40,55 triliun dan 2.482 masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Dari masalah ketidakpatuhan tersebut sebanyak 3.293 masalah berdampak pada pemulihan keuangan negara/daerah/perusahaan (atau berdampak finansial) senilai Rp14,74 triliun," ungkapnya.

Harry menambahkan, masalah berdampak finansial tersebut mengakibatkan kerugian Rp1,42 triliun, potensi ini kerugian ini lanjut Harry, mencapai Rp3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan Rp9,55 triliun. Selain itu, tambah Harry, terdapat 3.150 masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan ketidakekonomian, ketidakefisienan mencapai Rp25,81 triliun.

"Selama pemeriksaan, entitas telah menindaklanjuti masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekeurangan penerima dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan senilai Rp461,11 triliun," tukas Harry.

Editor: Surya