Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dukung Reformasi Agraria, FPKB DPR Usul Lahirkan UU Pertanahan
Oleh : Surya
Rabu | 25-03-2015 | 19:36 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Mesipun reformasi agraria belum tuntas sejak reformasi, namun Wakil Ketua Komisi II Lukman Edy mentargetkan akan menuntaskan RUU Pertahanan menjadi UU pada tahun 2015. 

Optimisme tersebut dianggap realistis karena RUU Pertanahan sudah masuk dalam Prolegnas 2015.


Lukman Edy menyatakan mendesaknya pengesahan RUU Pertanahan tersebut karena pihaknya saat ini telah  menemukan sembilan masalah pertanahan di Indonesia.

Pertama terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik vertikal dan horizontal. 

Kedua, banyaknya tanah yang terlantar.  Data tahun 2010 tanah terlantar di Indonesia ditemukan sebanyak 7.3 juta hektar dan berpotensi kerugian akibat terlantarnya tanah itu sebanyak Rp54,5 Triliun. 

Ketiga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Menurutnya sudah saatnya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tanah untuk mengatasi kemiskinan dan instrumen kesejahteraan rakyat.

"Saatnya moratorium thd perpanjangan HGU dan HGU baru bagi swasta perkebunan kecuali yg menjalankan program kemitraan dg masyarakat, 60 persen untuk rakyat dan 40 persen untuk swasta, " ujar Lukman Edy didampingi Ketua FPKB Helmy F. Zaini kepada pers di gedung DPR Jakarta, Rabu (25/3/2015).

Permasalahan keempat adalah data base tentang pemanfaatan lahan dan tata ruang.

"Tidak akuratnya data menyebabkan berbenturnya kepentingan sektoral dan lambatnya pelayanan kepada masyarakat, " katanya

Masalah kelima yang sudah menjadi rahasia umum adalah sulitnya pengurusan sertifikat tanah. Hingga saat ini baru  49 persen tanah milik rakyat yang telah besertifikat. 

"Kalau kebijakan tidak berubah butuh 18 tahun ke depan baru bisa menyelesaikan ini, " ujarnya.

Masalah keenam sumberdaya, sarana dan prasarana, yang memadai dibutuhkan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Masalah ketujuh pengakuan atas tanah adat/ulayat. 

"Selama ini masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara berpotensi terasing dari tanah mereka sendiri, perlu ada penguatan,revitalisasi dan regulasi yang jelas," katanya.

Masalah kedelapan, ganti rugi tanah.  Sebagai pimpinan, LE menyetujui rencana NJOP di hapus, namun harus diatur didalam UU Pertanahan agar memberi kepastian hukum. NJOP berpotensi menimbulkan kerugian kepada negara.

Kesembilan adalah pembagian kewenangan pusat dan daerah dan kesesuaian dengan UU sektoral mengembalikan kewenangan pertanahan menjadi urusan daerah dengan rambu-rambu yang ketat dari UU pertanahan.

Jangan ada krminalisasi 

Dalam masalah pertanahan sejak tahun 1960-an sampai sekarang ini terbukti banyak terjadi kriminalisasi terhadap tanah rakyat termasuk tanah adat. 

Rakyat yang mengelola tanah adat puluhan tahun dan sudah berlangsung secara turun-temurun akhirnya harus menjadi korban kriminalisasi tersebut karena dituduh melanggar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 

Itu menjadi masalah bagi DPR RI, sehingga harus mampu menjembatani masalah itu dengan memberikan solusi yang memihak kepada rakyat.

"Petani dan pengelola tanah adat selama ini justru yang melindungi konservasi hutan, tidak merusak hutan lindung dan sebagainya. Penelitian dunia pun membuktikan di Amerika Latin, Afrika dan Asia, membuktikan bahwa masyarakat adat itu yang mampu melindungi dan melestarikan hutan," tegas Ketua FPKB DPR RI Helmy Faishal Zaeni.

Karena itu kata Helmy Faishal, kita jangan mengulangi kesalahan berulang-ulang terhadap petani adat, melainkan harus melindungi. 

"Jadi, diskusi ini diharapkan bisa mengurai masalah secara komprehensif dan tidak sekadar bicara tanpa tindak lanjut yang konkret yang bermanfaat bagi rakyat. FPKB DPR RI harus mengawal ini sampai menjadi UU Pertanahan yang melindungi rakyat,"katanya

Editor : Surya