Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

BP MPR Diharapkan Hasilkan Kajian Perundang-undangan yang bisa Dipertanggungjawabkan
Oleh : Surya
Selasa | 10-03-2015 | 11:03 WIB
sadono4.jpg Honda-Batam
Kepala Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono (kanan)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kepala Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono menegaskan jika Badan Pengkajian (BP) MPR RI harus menghasilkan kajian perundang-undangan yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan politik.

Karena itu BP MPR RI akan melakukan kajian sebaik-baiknya agar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, akademis, dan tidak sampai bermasalah secara yuridis dan politis. Tapi, mengenai kapan perubahan atau amandemen itu akan dimulai, BP MPR RI masih akan mengkaji lebih mendalam dan diharapkan tahun 2016 bisa disempurnakan.

"Seperti halnya visi dan misi ekonomi Presien RI Jokowi  yang dikenal sebagai 'Trisakti dan Nawacita', kalau misi itu mau diwujudkan maka dari pusat sampai daerah harus sama. Nah, kalau misi ekonomi Gubernur, Bupati dan Walikota berbeda, tentu akan terjadi tumpang-tindih misi perekonomian bangsa ini. Ya, kalau kepala daerahnya dari PDIP, tapi yang lain dari Golkar, Demokrat, PKB, PPP dan lainnya, apakah akan mempunyai misi yang sama? Pasti akan berbeda-beda. Itulah antara lain yang akan dikaji dan menjadi tugas BP MPR RI," tegas Bambang Sadono dalam dialog pilar negara "Pancasila sebagai sumber hukum dan hierarki sistem perundang-undangan' di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (9/3/2015).

Tugas BP MPR RI tersebut kata Bambang, sesuai perintah UU Nomor 4 tahun 2014, BP MPR RI selaku rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 agar MPR RI melakukan kajian dan penataan melalui amandemen UUD NRI 1945.

Ada tiga konsep pengkajian tersebut, yaitu pertam bahwa UUD NRI 1945 ini sebagai perangkat penting untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak sekadar merubah tapi menyempurnakan. Kedua ada yang menginginkan perubahan UU NRI yang sudah dilakukan empat kali itu dijalankan terlebih dahulu. Ketiga ada kelompok masyarakat yang ingin kembali pada UU NRI 1945 sebelum diamandemen.

Karena itu BP MPR RI menurut Bambang, harus melakukan kajian serius dari tiga kelompok masyarakat tersebut. Selain itu, yang ditemukan di tengah masyarakat adalah tetap mempertahankan Pancasila, ada yang menginginkan hadirnya kembali GBHN, dan ada yang tetap mempertahankan TAP MPR RI. Seperti pro kontra terhadap tafsir ‘Pembukaan UUD NRI 1945 khususnya yang terkait dengan Pilkada, yang dilakukan secara demokratis.

"Itu artinya bisa langsung dan atau oleh DPRD. Karena itu, masalah tersebut bisa ditafsirkan melalui TAP MPR RI," ujarnya.

Bahkan  UU Nomor 6 tahun 2013 tentang desa misalnya, ternyata sama sekali tidak menyebutkan Pancasila, sila-sila Pancasila, dan juga nilai-nilai Pancasila. Semuanya tidak disebutkan dalam UU yang mengamanatkan setiap desa akan mendapatkan Rp 1 miliar per tahun itu.

Dengan demikian rekomendasi MPR RI tersebut memerintahkan antara lain; 1. Melaksanakan penataan sistem ketataengaraan Indonesia melalui perubahan UUD NRI 1945 dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan kesepakatan dasar untuk tidak mengubah Pembukaan UUD NRI 1945, tetap mempertahankan bentuk NKRI, mempertegas sistem pemerintahan presidesial serta melakukan perubahan dengan cara adendum, perubahan dengan mempertahankan naskah aseli.

Menurutnya, yang perlu ditata kembali antara lain; penguatan MPR RI sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan tertinggi dalam mengubah, menetapkan, menafsirkan UUD, dan memberikan arah kebijakan kepada lembaga-lembaga negara lainnya.

Kemudian penataan kewenangan DPD RI dalam pelaksanaan fungsi legislasi untuk mengusulkan, membahas, menyetujui RUU tertentu, melaksanakan fungsi anggaran bersama DPR dan pemerintah serta melaksanakan fungsi pengawasan atas UU dimaksud.

Lalu, penegasan sistem pemerintahan presidensil melalui penyederhanaan partai politik dan pengatruran wewenang Presiden RI sebagai kepala pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Penataan kewenangan Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA) melalui wewenang forum pevilegiatum-peradilan khusus untuk pejabat negara yang melakukan pelanggaran hukum, dan penataan sistem perekonomian nasional yang berbasis demokrasi Pancasila.

Juga melakukan reformasi sistem perencanaan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggaraan negara. Mewujudkan akuntabilitas publik lembaga negara dalam melaksanakan tugas konstitusional yang diamanatkan UUD NRI 1945 melalui laporan kinerja pelaksanaan tugas dalam sidang tahunan MPR RI.

Melakukan penataan sistem peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara, dan memperkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI dalam sistem hukum Indonesia.

Editor: Surya