Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Etika Berpendapat di Muka Umum
Oleh : Redaksi
Jum'at | 06-03-2015 | 09:28 WIB

Oleh: Nurwahid Wijoyo Kusumo*
  
KEMERDEKAAN menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang", hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
 

Upaya membangun demokrasi yang berkeadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai, dan dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Dalam pemerintahan yang otoriter, kebebasan mengemukakan pendapat, apalagi di muka umum, sangat dibatasi oleh pemerintah. Hal demikian sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Memang, hak kemerdekaan mengemukakan pendapat tidak boleh digunakan sekehendak hati karena di dalam hak tersebut juga melekat kewajiban untuk menghargai dan menghormati hak yang sama yang dimiliki orang lain. Akan tetapi, apabila pembatasan atau pengekangan dilakukan pemerintah terhadap rakyat demi kepentingan kekuasaan pemerintah semata, hal ini sungguh merupakan sebuah kesalahan yang amat fatal.
 
Kini makin banyak pemerintah di berbagai Negara yang menghormati dan menghargai hak kemerdekaan mengemukakan pendapat. Meskipun demikian, masih ada juga pemerintah yang melakukan pembatasan-pembatasan. Pengekangan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat oleh pemerintah yang berkuasa sebenarnya dapat menimbulkan akibat yang kurang baik bagi rakyat, pemerintah, ataupun bangsa.
 
Adanya pembatasan oleh pemerintah akan berakibat terjadinya hal berikut :  Pertama, berkurang atau hilangnya hak kemerdekaan mengemukakan pendapat. Kedua, kekecewaan yang dalam terhadap pemerintah. Ketiga, munculnya sikap apatis (tidak peduli) dari rakyat atau masyarakat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Kelima, pembangkangan terhadap pemerintah.
 
Negara Indonesia yang menganut paham demokrasi dimana setiap warga Negara berhak mengemukakan pendapat seringkali disalahartikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ironisnya, para pelaku unjuk rasa anarkis dan brutal seringkali berasal dari kalangan mahasiswa atau kaum intelek, yang notabene tahu perihal peraturan perundang-undangan.
 
Dengan demikian, pendapat yang dikemukakan tersebut bukan saja bermanfaat bagi dirinya, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain, masyarakat atau bahkan bagi bangsa dan negara. Apabila hak kebebasan mengemukakan pendapat tersebut digunakan tanpa batas atau tidak bertanggung jawab, maka dapat mengakibatkan orang atau pihak lain tersinggung perasaannya, bahkan dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Jika situasinya sudah meresahkan masyarakat, maka pemerintah dengan segala kewenangannya dapat mengambil tindakan pembatasan-pembatasan yang diperlukan demi terhentinya keresahan yang ada dalam masyarakat.
 
Meskipun kita memiliki hak kemerdekaan mengemukakan pendapat, tetapi dalam penggunaannya tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati atau sebebas-bebasnya. Hak kemerdekaan yang kita miliki tetap dibatasi oleh hak kemerdekaan yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain. Dengan kata lain, kebebasan mengemukakan pendapat tersebut harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maknanya, dalam mengemukakan pendapat harus dilandasi akal sehat, niat baik, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
 
Jadi jelas sekarang, bahwa penggunaan hak kemerdekaan mengemukakan pendapat yang tanpa batas atau tidak bertanggung jawab dapat merusak sendi – sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diperlukan asas proporsionalitas yaitu asas yang meletakkan segala kegiatan sesuai dengan konteks atau tujuan kegiatan tersebut, baik yang dilakukan oleh warga negara, institusi, maupun aparatur pemerintah yang dilandasi oleh etika individual, etika sosial, dan etika institusional.
 
Dalam demokrasi ada kebebasan, kesetaraan dan aturan. Hal ini mutlak diperlukan keseimbangan dalam ketiga hal tersebut. Indonesia yang telah memilih berdemokrasi maka sudah semestinya jika kita menjunjung tinggi etika dan tetap menempatkan aturan hukum sebagai panglima. Banyak pihak yang mencoba mempolitisasi hukum untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, cepat atau lambat hal ini akan memicu perlawanan masyarakat. Sebab rakyat Indonesia sudah makin dewasa dan makin pandai menilai siapa yang benar dan siapa yang salah.
 
Perlu keterpaduan langkah dalam menyikapi berbagai gejolak yang terjadi di tanah air, dimana ada upaya-upaya menggoyang demokrasi Indonesia yakni Pancasila menjadi demokrasi yang berbasis ideologi yang lain dengan cara kekerasan. Hal ini memicu keresahan dan berimbas pada instabilitas nasional.  Oleh sebab itu, seluruh elemen masyarakat harus saling berkomunikasi satu sama lain agar tidak salah dalam menerima ajaran dari luar yang mencoba mengoyak sendi-sendi keutuhan bangsa Indonesia.
 
Benturan antar kelompok sering terjadi akibat disetir oleh kelompok lain di luar negeri dengan menggunakan orang dalam negeri Indonesia. Kewaspadaan nasional perlu ditingkatkan, masing-masing pihak perlu merapatkan barisan dan menjaga kekompakan dan jati diri bangsa Indonesia yang cinta perdamaian, persatuan dan kesatuan. *
 
*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Bangsa, tinggal di Jakarta