Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Siapa Sebenarnya Pejabat Negara
Oleh : Redaksi
Selasa | 17-02-2015 | 11:55 WIB

Oleh : Prof Dr  Said Zainal Abidin)*

PUTUSAN  praperadilan yang diajukan Kombes Polisi Budi Gunawan terhadap keputusan KPK sebagai tersangka, sebagian diterima oleh majelis hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, S. Rizaldi, SH, MH.


Salah satu butir yang diterima adalah pencabutan Keputusan KPK terhadap BG sebagai tersangka. Alasannya, karena BG belum menjadi pejabat negara pada waktu terjadinya kasus yang dituduhkan itu, karena pada waktu itu BG masih Eselon II/A, belum menjadi Eselon I.

Karena hakim mengambil jalan tengah dan demi ketenangan situasi yang lagi keruh, putusan itu patut dihargai. Apalagi KPK juga menghormati putusan Pengadilan tersebut. Namun demi kebenaran pertimbangan tentang sesuatu istilah yang digunakan hakim, saya ingin sedikit mempertanyakan tentang hal tersebut.

1. Khusus tentang kasus yang berkenaan dengan pejabat negara yang disebutkan hakim dalam pasal 11 UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi: “ Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50. 000.000,00 (lima puluh juta rupiah dan paling banyak 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.

Dalam hal ini penerimaan sesuatu suap atau pemberian apapun yang diterima pegawai negeri karena terkait dengan jabatannya termasuk yang tidak boleh diterima. Pengertian pegawai negeri dalam pasal ini jelas tidak mesti sebagai Pejabat Eselon I.

2. Dalam pembacaan putusannya, khususnya tentang pengertian Pejabat atau Penyelenggara Negara, Bapak Hakim telah merambah ke bidang lain di luar hukum. Beliau merambah ke ranah ilmu kebijakan publik (public policy science). Perambahan itu tentu saja hak hakim sepenuhnya, tetapi pengertian dari istilah Pejabat Negara, menurut ilmu kebijakan publik tidak terbatas hanya sebagai Pejabat Eselon I. Setiap instansi mempunyai standar yang berbeda.

Yang dipakai sebagai ukuran adalah muatan kebijakan yang terkandung dari jabatan dimaksud. Boleh jadi Pejabat Eselon II pada Departeman dalam Negeri dapat dianggap sebagai Pejabat Negara, karena jabatan itu mengandung muatan kebijakan publik. Misalnya Sekretaris Daerah Kabupaten atau Kotamadya. Hal mana dapat berbeda pada Eselon II Departemen Luar Negeri yang kandungan politiknya lebih sarat dari pada departemen lain.

Pertanyaannya, apakah BG ketika menjabat sebagai pejabat eselon II termasuk pejabat negara atau bukan? Dengan perkataan lain, apakah jabatan yang disandang beliau pada waktu terjadinya kasus yang dituduhkan kepadanya mengandung wewenang untuk membuat keputusan atau kebijakan yang berdampak publik? Kalau tidak mengandung kewenangan itu, mengapa ada orang yang mau memberikan gratifikasi seperti yang dituduhkan KPK tersebut?

Demikian, semoga dapat memperjelas kerancuan dalam masyarakat yang menganggap seolah-olah sebelum menjadi pejabat eselon I, semua orang boleh menerima gratifikasi atau suap sekalipun.

Penulis adalah Guru Besar Tetap Sekolah Tinggi  Ilmu Admintrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN)