Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Desak Harmonisasi Peraturan Undang-undang

FPKB Sayangkan Pemerintah Perpanjang Kontrak PT Freeport
Oleh : Surya
Kamis | 05-02-2015 | 09:55 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua FPKB DPR Helmy Faishal Zaeni menegaskan FPKB menyayangkan perpanjangan kontrak PT Freeport selama 6 bulan ke depan. Karena itu perlu ada harmonisasi peraturan perundang-undangan dan aturan lainnya menyangkut pengelolaan sumber daya alam (SDA).

  

Yakni melalui revisi UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba (mineral dan batubara) dan hasil dialog Minerba ini diharapkan menjadi rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh peemrintah dalam kerangka menjaga kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat khususnya Papua.

 "Jadi, FPKB DPR menyayangkan perpanjangan kontrak PT. Freeport selama 6 bulan ke depan. Karena itu, ke depan pengelolaan PT. Freeport ini harus dikawal oleh FPKB agar sejalan dengan 'nawacita' Presiden Jokowi sendiri, agar kita mampu menjaga ketahanan energi nasional. Langkah ini juga harus menjadi rencana strategis (Resntra) Menteri ESDM ke depan," tegas Helmy Faishal Zaeni ketika membuka diakusi ‘Menggugat Regulasi dan Menagih Janji PT. Freeport’ bersama R. Sukhyar Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Kapoksi VII FPKB DPR Syaikhul Islam Ali, Agus Sulistiyo dan Sekretaris FPKB DPR Jazilul Fawaid di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (4/2).
 
Menurut mantan Menteri Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) ini, pengelolaan PT. Freeport maupun pembangunan smelter di Papua, dan membiarkan eksplorasi kekayaan Freeport oleh asing, jelas merugikan bangsa dan negara ini. 

"Tak elok, tak etis, dan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Papua dan negara jika FPKB tidak mangawal pengelolaan Freeport," ujarnya.
 
Menurut Syaikhul Islam pembiaran itu sebagai anomali, penyimpangan dalam pengelolaan kekayaan negara oleh asing selama puluhan tahun. Tapi, hal itu harus disikapi secara arif, karena kontrak itu dilakukan sejak pemerintahan Orde Baru.

Sebab, perpanjangan kontrak tanpa kehati-hatian pasti akan merugikan bangsa, negara dan anak cucu kita ke depan. "Di mana pengelolaan dan pemurnian atau smelter itu tak boleh ada konsentrat mentah yang diekspor (2009-2014), dan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda untuk membangun smelter di Papua," katanya.
 
Kesepakatan atau MoU perpanjangan sampai tahun 2021 da akan diteken pada 2019, pemerintah harus tegas bahwa smelter tersebut harus dibangun di Papua. Sebab, apapun alasannya kalau dibangun di Gresik, Jawa Timur itu tidak adil. 

Namun, sebelum pembangunan smelter itu dilakukan,  hendaknya terlebih dahulu membangun listrik di Papua. 

"Jadi, berdasarkan asas keadilan, smelter itu harus dibangun di Papua, dan harus lebih dahulu membangun listrik demi kesejahteraan rakyat Papua,"  ungkap Syaikhul.

 Sementara itu Sukhyar mengingatkan jika pembangunan smelter itu terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan, yakni yaitu aspek bisnis, politik, hukum dan teknis. Kalau dari aspek bisnis, pasti akan mendukung pembangunan smelter itu di Gresik. 

Sebaliknya kalau aspek politik akan mendukung pembangunan semelter di Papua. Hanya saja secara teknis, smelter di Papua itu tidak mudah, karena Petrokimia Gresik saja membutuhkan waktu puluhan tahun. "Terpenting lagi jangan sampai bertabrakan dengan UU atau hukum yang ada," katanya.
 
Tapi, kalau setelah tahun 2021 menurut Sukhyar, pihaknya optimis bisa memulai pembangunan pabrik semen dan listrik, sebelum membangun smelter. 

"Paradigma eksploitasi kekayaan alam juga harus dirubah menjadi pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk pelestarian lingkungan dan kita diharapkan tidak hanya tergantung pada SDA, meski telah memberikan konstribusi sebesar 30 % untuk APBN selama ini. Saham Indonesia pun kini sudah 25 % di Freeport," pungkasnya.

Editor : Surya