Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengkritisi Kerja Sama Intelijen Berantas Terorisme
Oleh : Redaksi
Rabu | 07-01-2015 | 14:14 WIB

Oleh: Hasanul Abi Wiranoto*
 
ISU penyiksaan yang dilakukan badan intelijen Amerika Serikat, CIA terhadap para tahanan kembali mencuat ke publik. Laporan yang dikeluarkan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat (AS), tentang metode brutal yang digunakan CIA dalam menginterogasi tersangka Al-Qaeda, memperlihatkan standar ganda yang digunakan AS dalam memandang persoalan HAM.
 

Pada konferensi pers di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2014, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Y Galuzin menegaskan bahwa AS termasuk dalam negara yang menandatangani Konvensi HAM PBB, yang menentang segala bentuk penyiksaan. Sehingga apa yang terjadi, memperlihatkan standar ganda AS. Apalagi pemerintah AS telah menegaskan, bahwa tidak akan ada penyelidikan atau tuntutan hukum bagi mereka yang terlibat. Namun, sangat disayangkan Presiden AS Barack Obama, justru menyerukan agar publik melupakan kasus penyiksaan CIA.
 
Menurut Galuzin, Sikap Obama yang  didukung  negara-negara Barat lainnya, memperlihatkan bagaimana pelanggaran HAM nampaknya hanya merupakan jargon. Tuduhan pelanggaran HAM kerap jadi senjata yang digunakan AS dan para sekutunya, untuk menindak banyak negara.
 
Sebenarnya infomasi tentang aksi penyiksaan oleh CIA  telah beredar sejak 2013 lalu. Dimana di dalamnya menyebutkan terdapat beberapa negara termasuk  Indonesia dituduh ikut terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut. Pada 05-Feb-2013 lalu, Open Society Foundations telah merilis sebuah laporan setebal 216 halaman yang diberi judul "Globalisasi Penyiksaan : Penahanan Rahasia CIA dan Rendisi Luar Biasa" (Globalizing Torture: CIA Secret Detention and Extraordinary Rendition). Dalam laporan itu ditulis bahwa : 1)  Indonesia juga dituduh termasuk  salah satu dari  54 negara di-dunia ini yang terlibat didalamnya membantu CIA. 2) Italia satu-satunya negara di mana pengadilan telah menghukum pejabat dengan tindak kriminal atas keterlibatan mereka. 3) Kanada adalah satu-satunya negara yang mengeluarkan permintaan maaf kepada korban rendisi luar biasa. 4) Saat ini baru ada empat negara - Kanada, Swedia, Australia, dan Inggris Raya yang telah mengeluarkan kompensasi kepada korban rendisi luar biasa
 
Sebanyak 54 pemerintah asing (diluar AS) dilaporkan berpartisipasi dalam operasi ini dengan berbagai cara, termasuk dengan menyediakan penjara untuk CIA di wilayah mereka, menahan, menginterogasi, menyiksa, membantu penangkapan dan pemindahan tahanan; mengijinkan penggunaan wilayah udara domestik dan bandara untuk penerbangan rahasia mengangkut tahanan dan masih banyak lagi. Dimana 54 pemerintah yang diidentifikasi telah berpartisipasi membantu CIA meliputi : Afghanistan, Albania, Aljazair, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgia, Bosnia-Herzegovina, Kanada, Kroasia, Siprus, Ceko Republik, Denmark, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Finlandia, Gambia, Georgia, Jerman, Yunani, Hong Kong, Islandia, Indonesia, Iran, Irlandia, Italia, Yordania, Kenya, Libya, Lithuania, Macedonia, Malawi, Malaysia, Mauritania, Maroko, Pakistan, Polandia, Portugal, Rumania, Saudi Arabia, Somalia, Afrika Selatan, Spanyol, Sri Lanka, Swedia, Suriah, Thailand, Turki, Uni Emirat Arab, Inggris, Uzbekistan, Yaman, dan Zimbabwe.
 
Kondisi ini semakin menarik dimana apabila kita memperhatikan pemberitaan berbagai media di Indonesia belakangan ini, banyak yang menyebutkan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia merupakan salah satu yang terlibat dalam CIA. Benarkah BIN terlibat? Namun mengapa Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak memberikan tanggapan apapun terkait pemberitaan yang menyebutkan keterlibatan BIN di dalamnya?
 
Disadari memang bahwa Indonesia menjajaki kerjasama dengan berbagai negara untuk memerangi tiga ancaman yaitu terorisme, separatisme dan ekstrimisme. Kerjasama tersebut semakin meningkat terutama saat isu terorisme semakin berkembang di berbagai negera, salah satunya Indonesia. Peningkatan kerjasama internasional terus dilakukan Indonesia dalam rangka pencegahan dan pemberantasan terorisme, baik dalam kerangka multilateral (PBB) maupun regional, serta bilateral, khususnya dalam bentuk peningkatan kapasitas, penegakan hukum,  perbaikan legislasi/kerangka hukum, pertukaran informasi dan berbagi pengalaman, pengiriman pakar dan pemberian advis kepakaran, dan kerjasama teknis lainnya. Pemerintah RI juga melakukan langkah pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui pendekatan/strategi "soft power", termasuk melalui upaya kerjasama untuk mengatasi underlying causes of terrorisme.
 
Terorisme telah menjadi keprihatinan bagi Indonesia dan juga masyarakat internasional. Terorisme  terus menjadi ancaman serius bukan hanya terhadap perdamaian dan keamanan internasional, namun juga berdampak kepada perkembangan sosial dan ekonomi negara-negara di berbagai kawasan. Selain itu, tindakan terorisme dipandang sebagai kejahatan kriminal luar biasa dan pelanggaran berat terhadap HAM dan kebebasan mendasar manusia, serta dapat menimpa siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin, ras dan agama. Indonesia secara konsisten mengutuk keras segala bentuk tindakan terorisme dengan motivasi dan manifestasi apapun.
 
Sebagaimana kita ingat bahwa beberapa tahun silam, tepatnya di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) aksi terorisme di Indonesia menjadi perhatian yang cukup serius. masyarakat pun masih mengingat jelas bahwa di era pemerintahan SBY berhasil menangkap berbagai kelompok yang di terkait dan terlibat dalam aksi terorisme tersebut.
 
Selain itu, hal yang perlu di ingat dan menjadi catatan bahwa sejak tahun 2002 Dewan Keamanan PBB juga telah mengesahkan sejumlah resolusi terkait terorisme, khususnya resolusi no. 1267 (tahun 1999) terkait rezim sanksi Al-Qaida, dan resolusi no. 1373 (tahun 2001) terkait pendanaan terorisme. Badan-badan dalam sistem PBB, seperti Terrorism Prevention Branch United Nations Office on Drugs and Crime (TPB-UNODC), United Nations Counter-Terrorism Executive Directorate (UNCTED), United Nations Counter-Terrorism Implementation Task Force (UNCTITF) telah melakukan berbagai upaya penanggulangan terorisme dan menyediakan bantuan teknis bagi negara anggotanya khususnya dalam rangka ratifikasi dan implementasi sejumlah instrumen hukum terkait pemberantasan terorisme dan implementasi resolusi-resolusi PBB.
 
Mengacu pada hal tersebut dapat digambarkan bahwa Indonesia memang "aktif". Aktif dalam konteks ini adalah terlibat aktif dalam pemberantasan aksi terorisme. Dimana terjadi kerjasama atau pertukaran Informasi (information exchange) tingkat intelijen negara dan hal ini biasa dilakukan badan-badan intelijen di dunia guna menjaga keamanan dan ketertiban negara masing-masing. Tetapi bukan terlibat dalam membantu CIA apalagi terkait penyiksaan. Masalah penyiksaan yang dilakukan CIA, tentu hal tersebut menjadi urusan internal AS. Indonesia hanya memfokuskan  pada ketertiban dan keamanan dalam negeri.
 
Apabila hal ini yang menjadi permasalahannya, tentu salah besar. Kita harus tahu bahwa pemberantasan terorisme bukanlah hal yang sepele, dibutuhkan kerjasama dengan berbagai negara untuk menyelesaikannya, karena ini menyangkut tatanan kehidupan masyarakat Internasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia bukanlah budak AS, melainkan merupakan sahabat masyarakat Internasional, sesuai Pembukaan UUD 145 yang berbunyi "Ikut terlibat aktif dalam menjaga ketertiban dunia".
 
*) Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ketahanan Nasional, aktif pada Kajian Informasi Ketahanan Nasional untuk Kesejahteraan.