Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sempena Hari Penyandang Disabilitas Internasional

Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus yang 'Tercecer'
Oleh : Redaksi
Selasa | 02-12-2014 | 09:48 WIB

Oleh: Chaerul Anwar*

SETAHUN lalu saat peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2013, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah menekankan pentingnya "parenting education" bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Kepala BKKBN, Fasli Jalal, saat mengadakan parenting education itu, juga menyampaikan tantangan bagi keluarga dalam menangani anak, terlebih meningkatnya jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia.

Fasli Jalal mengutip amanat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dalam UU itu, kata dia, dinyatakan bahwa peningkatan kualitas anak dilakukan dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak. Ditegaskan pula bahwa salah satu tugas BKKBN sebagai institusi dalam masyarakat adalah meningkatkan kualitas anak dengan memberikan akses yang mendukung informasi, pendidikan, penyuluhan dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak.

Namun, salah satu masalah yang dihadapi adalah mulai terdeteksinya peningkatan jumlah anak-anak yang lahir dengan berbagai persoalan tumbuh kembang, baik secara fisik, intelektual, emosi, dan sosial. Dalam bahasa pendidikan, anak-anak yang mengalami masalah dalam tumbuh kembang dan hambatan dalam pendidikan dikenal dengan istilah anak berkebutuhan khusus (children with special needs).

Nah, melalui kegiatan parenting education itu, Fasli Jalal mengajak masyarakat, terutama orang tua, agar memiliki pengetahuan yang cukup mengenai berbagai gangguan (disfungsi) yang terjadi pada masa kehamilan hingga masa tumbuh kembang anak. Dengan modal dasar itu, orang tua diharapkanmampu memberikan penanganan sejak dini (early intervention) kepada anak-anak yang lahir dengan kekhususan.

Pesan Prof dr H Fasli Jalal PhD SpGK itu jelas: orang tua harus paham mengenai apa penyebab bayi-bayi yang lahir dengan kekhususan, bagaimana untuk mendeteksi, seperti apa penanganannya. Pengetahuan ini menurut Fasli Jalal tentu saja perlu mengingat prevalensi anak berkebutuhan khusus diprediksi meningkat setiap tahun. Padahal, penanganan terbaik bagi anak berkebutuhan khusus itu ada pada keluarga, katanya.

Pun mengutip asumsi PBB, paling sedikit 10 persen anak usia sekolah (5-14 tahun) menyandang kebutuhan khusus. Jika berdasarkan sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, jumlah anak usia sekolah di Indonesia mencapai 42.870.041 jiwa, yang berarti jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia (pada sembilan tahun lalu) sudah mencapai 4,2 juta jiwa.

Parahnya, menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PPK-LK), Ditjen Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, (saat itu) Mudjito, hanya 130.000 anak berkebutuhan khusus yang terlayani pendidikan.

Sementara, pakar tumbuh kembang anak, dr Tri Gunadi Amd OT SPsi, mengungkap, fenomena anak berkebutuhan khusus di Indonesia seperti gunung es. Yang terdata baru sebagian kecilnya saja yani hanya di SLB dan klinik, sementara yang belum terdata justru bisa jauh lebih besar.

Jika dirinci, sebenarnya banyak jenis anak berkebutuhan khusus. Yang orang tahu baru yang ada di SLB seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, retardasi mental, Down sindrome, dan autistik. Padahal, gangguan keterlambatan bicara, gangguan kenaikan berat badan, gangguan konsentrasi, gangguan motorik, gangguan oral motor, gangguan sensoris hingga gangguan emosi, itu sudah merupakan berkebutuhan khusus.

Parahnya lagi, gangguan pada satu anak berkebutuhan khusus kadang tidak tunggal, tapi teridentifikasi lebih dari satu. Misalnya, tunanetra ya juga autistik, tunadaksa ya juga retardasi mental, dan sebagainya.

Sayangnya, data valid mengenai anak berkebutuhan khusus di Indonesia tak seakurat pendataan sensus penduduk, ataupun pendataan warga pemilih yang bakal dimasukkan dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada setiap pelaksanaan pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah. Nyaris, pendataan terhadap anak berkebutuhan khusus belum tersentuh sama sekali.

Data yang 'sedikit' akurat hanya bisa diambil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kementerian Kesehatan, atau dinas pendidikan dan dinas kesehatan di setiap daerah. Itu pun hanya anak-anak berkebutuhan khusus yang terlayani pendidikan sementara jumlah yang belum atau tidak terlayani diperkirakan jauh lebih besar.

Payung Hukum
Jika di BKKBN ada UU Nomor 52 Tahun 2009, di Kementerian Kebudayaan Pendidikan Dasar dan Menengah ada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas itu juga dinyatakan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial, berhak memperoleh pendidikan khusus.

Selanjutnya, di Kementerian Kesehatan juga sudah ada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menyebut, bahwa upaya pemeliharaan kesehatan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Bahkan, Kementerian Kesehatan juga sudah mengeluarkan Pedoman Layanan Kesehatan Anak Berkebutuhan Khusus bagi petugas kesehatan.

Kemudian, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah punya UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 12 misalnya disebutkan, setiap anak yang menyandang cacat (termasuk anak berkebutuhan khusus) berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Lebih teknis, penanganan anak berkebutuhan khusus ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Berdasarkan peraturan tersebut dijelaskan, penanganan anak berkebutuhan khusus adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anak berkebutuhan khusus agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Pada pasal 15 ayat huruf "c" malah ditegaskan, Deputi Bidang Perlindungan Anak menyusun model penanganan anak berkebutuhan khusus bagi orang tua, keluarga, dan masyarakat.

Sedangkan, Kementerian Sosial punya payung hukum yang "lebih tua" yakni UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Penyandang Cacat. Implementasi dari UU ini, setiap daerah yang 'mengaku peduli' mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur tentang penyandang cacat.

Di Provinsi Kepulauan Riau sendiri, pemerintah daerah sudah cukup "berbaik hati" dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas yang berlaku mulai 2014. Melalui peraturan daerah ini, Pemerintah Provinsi mengalokasikan kuota bagi penyandang disabilitas untuk bekerja di kantor pemerintahan, yang diharapkan diikuti oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Kerja Sama Lintas Sektoral
Sayangnya, dari seabrek peraturan tersebut, masing-masing kementerian -apalagi di tingkat daerah- terkesan berjalan dengan programnya masing-masing dan nyaris tidak saling bersinergi. Padahal Kementerian Kesehatan, BKKBN, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, ditambah lagi dengan Kementerian Tenaga Kerja, ada kaitannya dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Jika enam kementerian dan lembaga itu saling bersinergi -lebih baik hingga ke daerah- penanganan anak berkebutuhan khusus akan memberikan hasil yang lebih optimal. Selain itu, program-program yang dilaksanakan juga tidak tumpang tindih, namun berkelanjutan dan saling mendukung. Ada penanganan prenatal, natal, postnatal, pendidikan, bina keluarga, dan sebagainya.

Misalnya saja, Kementerian Kesehatan dan BKKBN lebih fokus kepada penatalaksanaan bagi ibu hamil dan penanganan anak berkebutuhan khusus secara klinis. Kemudian Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan mengurusi akses layanan pendidikannya. Lalu Kementerian Sosial turun tangan membantu meringankan beban orang tua yang jungkir balik untuk mengasuh anak-anak berkebutuhan khusus.

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membackup orang tua agar tak mudah depresi dengan memberikan pelatiha-pelatihan kepada orang tua misalnya, dan Kementerian Tenaga Kerja menjamin hak-hak penyandang difabel (lebih disebut difabel daripada disabilitas) untuk mampu meneruskan hidupnya -bagi yang mampu- baik dengan kebijakan yang mewajibkan setiap instansi memberikan kesempatan kerja bagi penyandang difabel, maupun dengan program vokasionalnya (keterampilan).

Itu cuma contoh. Kita yakin, pejabat-pejabat yang duduk di kementerian/lembaga dan instansi terkait punya pemahaman yang lebih baik.

Tapi, menuntut kepedulian bukanlah perkara mudah meski seabrek peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas tadi banyak sekali menggunakan kata-kata "pemerintah menjamin". Karena sejauh ini, penanganan anak berkebutuhan khusus masih lebih banyak dilakukan orang tua, baik secara swadaya maupun swadana. Karena itu, program parenting education, begitu penting mengingat yang dikatakan Fasli Jalal, penanganan terbaik bagi anak berkebutuhan khusus itu ada pada keluarga.

Parahnya, seperti yang pernah disampaikan Tri Gunadi, masih banyak orang tua yang menerapkan pola asuh yang salah sehingga penanganan anak berkebutuhan khusus semakin sulit. Belum lagi anak-anak berkebutuhan khusus sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik itu penelantaran, maupun kekerasan fisik akibat ketidaktahuan orang tua. Karena itu, untuk membenahi anak berkebutuhan khusus, orang tualah yang terlebih dulu "dibenahi", kata Tri Gunadi. (*)

*) Penulis adalah pemerhati masalah anak berkebutuhan khusus dan Redaktur Pelaksana BATAMTODAY.COM