Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspadalah, Enam Tahun ke Depan Indonesia Bakal Krisis BBM
Oleh : Redaksi
Senin | 01-12-2014 | 12:03 WIB

Oleh Rumbadi Dalle, SH.

PRESIDEN RI Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak merupakan langkah tepat untuk menyelamatkan keuangan Negara agar tidak terjadi defisit. Setidaknya dengan menaikan bahan bakar subsidi senilai Rp.2000 per liter menjadi Rp.6.500 per liter akan mengurangi beban pemerintah  dan  uang dari potongan subsidi itu dapat digunakan untuk keperluan lain. Mudah-mudahan apologi Presiden Jokowi benar. 

Tapi masih menjadi pertanyaan soal -- yang katanya penghematan ini, karena letak yang paling krusial bukan soal memotong subsidi, atau melenyapkan sama sekali subsidi itu, tapi produksi bahan bakar minyak terus merosot di sisi lain jumlah kendaraan terus bertambah. Sedangkan subsidi itu murninya dinikmati oleh orang-orang yang sepatutnya tidak mendapat subsisi. Dengan kata lain, subsidi itu salah sasaran. Sebab kendaraan roda dua mengisi tanki dengan kisaran tiga atau tiga setengah liter karena kapasitasnya tak lebih dari itu, kecuali kendaraan roda dua yang seperti Haley Davidson, atau jenis lain yang serupa. Namun tak lebih dari sepuluh liter.

Sedangkan kendaraan roda empat mengisi tanki minimal senilai Rp.50.000  itupun jarum penunjuk meter tampak tak bergerak, maka harus ditambah menjadi senilai Rp.100.000. Ada kendaraan yang harus mengisi tanki senilai Rp.400.000, jika tidak maka kendaraan tersebut akan mendapat gangguan teknis, karena assesoris kendaraan yang ada seperti air condition, tape recorder, atau pengecas handphone turut andil konsumsi bahan bakar lebih banyak, karena putaran mesin kendaraan harus mengimbangi beban agar menjadi normal.

Berbeda dengan kendaraan roda dua yang memang tidak terpasang assesoris seperti itu. Jika pengendara ingin mendengar radio atau agar bisa mendengar panggilan bagi yang memiliki handphone, harus menggunakan handset  yang ditenpel di lubang  telinga, jenisnya ada yang menggunakan kabel penghubung, ada pula yang wireless, maka konsumsi bahan bakar tidaklah sebanyak kendaraan roda empat.

Lalu apa sih penyebab Indonesia selalu bila harga BBM naik? Ini akibat produksi minyak untuk konsumsi di Indonesia sendiri tidak cukup , bahkan minus sehingga harus impor. Pria Indirasarjana dalam bukunya yang berjudul : 2020 Indonesia Dalam Bencana Krisis Minyak Nasional  menyebutkan, bahwa produksi minyak mentah Indonesia makin menurun sejak reformasi. Tahun 1997 lifting minyak Indonesia sebanyak 1,6 juta barel per hari dan hanya terpakai 25 persen dari total penduduk Indonesia. Maka Indonesia bisa menjadi anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) , atau organisasi Negara Pengekspor Minyak.

Setelah produksi terus merosot menjadi hanya tak lebih dari sebilan ratus ribu barel per hari, maka ini menjadi maslah nasional, karena bila usaha ekplorasi tidak ada jangan harap pula eksploitas. Sebab peran hulu sangat penting, karena di sanalah ukurannya. Sektor hulu ini tidak bias seperti enggoreng pisang yang butuh waktu sekejap, menggoreng pisang hanya menunggu minyak goring panas,bila encapai temperature tentu, pasang dicelupkan hanya menunggu sepuluh hingga lima belas menit, pisang goring siap disajikan. Ekplorasi minyak waktu bertahun-tahun, dimulai dari  survey mencari titik Diana terdapat endapan minyak yang layak dihisap, kemudian membuat jalan untuk alat-alat berat untuk memasuki lokasi tersebut, kemudian memobilisasi alat-alat bor.

Di era otonomi daerah  tidak mudah untuk membebaskan lahan tempat dimana ditemukannya titik yang mengandung endapan tersebut. Birokrasi yang berbelit-serta hambatan lain, menjadikan para kontraktor pemburu minyak menjadi putus asa. Itu hanya sekadar untuk urusan administrasi memakan waktu yang panjang, belum lagi survey itu sendiri. Sejak kuda makan besi, pemburu minyak itu mengeluarkan uang sendiri terlebih dahulu. Ada perjanjian - dulu - pihak kontraktor harus menanggung biaya semua keperluannya untuk eksplorasi. Nah, eksplorasi ini tidak berbatas waktu, artinya biaya terus dikeluarkan hingga ditemukan minyak.

Tak jarang lamanya eksplorasi ini mencapai lima tahun bahkan sepuluh tahun, selama itu pula pihak kontraktor harus merogoh kocek, yang tidak ada tempat untuk mengklaim dana yang telah dikeluarkan, kelak bila minyak sudah "ngucur" baru bias dikembalikan dengan istilah cost recovery. Itu pun prosesnya asih panjang, sebab meski diketahui minyak dapat dihisap, apakah minyak itu masih mengandung CO2 ( karbondioksida) atau tidak.

Bila ternyata mengandung CO2, maka perlu dipisahkan terlebih dahulu, dan karbondioksida harus dipompakan lagi ke dalam tanah sebab merupakan racun yang berbahaya bagi umat manusia dan mahluk lain di muka bumi, dan bila dibiarkan terbang ke atmosfir maka akan merusak lapisan ozon, konsekuensinya menimbulkan pemanasan global (global warming) karena lapisan ozon tak mampu menahan panasnya matahari.  Jadi proses mencari minyak agar dapat dinikmati pengendara itu tidak mudah seperti menggali sumur.

Lifting minyak - tulis Pria Indirasardjana - saat ini hanya sembilan ratus ribu barel per hari, dari jumlah itu target lifting hanya delapan ratus empat ribu barel per hari, sedangkan peluang untuk meningkatkan produksi 5-10 tahun mendatang sangat kecil karena terbatasnya temuan cadangan baru yang volumenya signifikan dan pengisap minyak peninggalan Belanda yang disebut Pumping Unit, sebagian hanya teronggok menjadi saksi bisu kejayaannya di era keemasan Bangsa Indonesia dengan minyak yang produksi mencapai 1,7 juta barel per hari, dan dikonsumsi hanya dua ratus delapan puluh lima ribu barel. Sekarang, dengan produksi 804 ribu barel per hari (bph), konsumsi mencapai 1,3 juta bph. Artinya kekurangannya harus impor, tambahan lagi pengilangan minyak di Indonesia yang sudah "gaek" alias tua.

Pengeboran minyak pertama di Indonesia dilakukan oleh pegawai  Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) yang dikenal STANVAC - perusahaan minyak yang didirikan oleh Standard Oil of New Jersey (SONJ), Amerika Serikat , yang mata bornya menembus lapisan lunak pada kedalaman sekitar beberapa meter saja, di daerah Talang Akar Pendopo Sumatera Selatan.

Pada tahun 1871 dilakukan pemboran minyak oleh J.Reeink di Majalengka, Gunung Ciremai, Cirebon, diikuti temuan empat sumur lainnya. Dan kemudian menjalar ke daerah lain seperti Jambi, Prabumulih, Sumatera Selatan dan merayap ke Sumatera Utara tahun 1883, yang konsesi pertama diberikan Sultan Langkat kepada Aeilko Jans Zeilker di daerah Telaga Said, Langkat Sumatera Utara,  kemudian minyak disalurkan melalui pipa ke kilang di Pangkalan Brandan, yang pembangunan pipa dan kilang ini tahun 1892.

Maka di Prabumulih, Sumatera Selatan, tempat tanah kelahiran penulis banyak ditemukan sumur bor minyak dan pumping unit peninggal Belanda, ada yang masih mampu mengisap, ada pula yang hanya teronggok sambil melihat, dan mendengar kicauan burung di hutan yang ada di seputaran pumping unit itu.

Maka, siap-siap krisis minyak nasional menunggu, dan tak tertutup kemungkinan harga  bahan bakar jenis premium, dan solar senilai Rp.20.000 per liter, dan gas tabung "manggis" lebih mahal, karena pengguna tabung kecil itu tidak hanya orang setengah mampu, tapi yang mampu dan memiliki kendaraan dua atau unit pun membeli yang tabung kecil itu. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita. Amin!!!

Penulis adalah Wartawan Majalah Mingguan TEMPO dan Koran TEMPO Wilayah Kepri Dosen Fakultas Hukum, Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam dan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Internasional Batam (UIB).