Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

KY Yakin Ada Rekayasa Dalam Kasus Antasari
Oleh : redaksi/TN
Jum'at | 17-06-2011 | 16:08 WIB

Jakarta, batamtoday - Komisi Yudisial (KY) meyakini adanya rekayasa dalam kasus mantan ketua KPK Antasari terkait terbunuhnya Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen, yang menyebabkan Antasari divonis 18 tahun penjara.

Keyakinan tersebut disampaikan  Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, usai mengunjungi Antasari Azhar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang, Banten, Kamis 16 Juni 2011.

"Kami telah mengantongi data terkait jalannya persidangan perkara pembunuhan berencana yang melibatkan Antasari Azhar. Dari data itu, kami semakin yakin adanya rekayasa dalam putusan hakim," kata  Suparman Marzuki seperti dikutip Suara Karya.

Suparman mengatakan bahwa pihaknya mendapat data dan keterangan penting terkait persidangan Antasari. Dari keterangan tersebut, kata dia, dapat diketahui apakah hakim cukup imparsial, apakah hakim memerankan dirinya sebagai majelis yang mengejar kebenaran materiil dalam peradilan pidana.

Dalam pertemuan dengan Antasari, menurut Suparman, diperoleh keterangan untuk melengkapi data yang sudah ada, sekaligus akan menjadi pertimbangan Komisi Yudisial untuk melanjutkan menelusuri kasus tersebut, termasuk memanggil majelis hakim pada pekan depan.

"Kalau terbukti ada rekayasa dalam putusan hakim, KY akan merekomendasikan kepada MA untuk memberikan sanksi terhadap hakim terkait. Sanksi dapat berupa pemberhentian sementara, peringatan tertulis, sampai pemberhentian tetap. Tapi harus diingat, kalaupun nanti terbukti, tidak akan mengubah putusan majelis hakim," ujar Suparman yang didampingi komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri dan dua staf ahli.

Sebelumnya, dalam kesimpulan sementara hasil penelusuran KY ditemukan adanya indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam penanganan kasus Antasari. Dugaan pelanggaran tersebut berupa pengabaian sejumlah fakta persidangan dan bukti-bukti kuat dalam memutus perkara tersebut.

Bukti-bukti kuat antara lain pengabaian keterangan ahli balistik, ahli forensik dan ahli teknologi informatika (IT). Selain itu pengabaian atas bukti berupa baju korban, yakni baju yang dikenakan Nasrudin Zulkarnain saat terjadi penembakan. Baju tersebut, tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.

Terkait kunjungan komisioner KY tersebut, kuasa hukum Antasari, Maqdir Ismail mengatakan, kunjungan itu bertujuan untuk mengkonfirmasi dugaan pelanggaran-pelanggaran kode etik hakim.

Salah satunya, kata Maqdir, membicarakan dugaan hakim yang mengabaikan pendalaman SMS (pesan singkat) antara almarhum Nasrudin Syamsudin dengan Antasari yang tidak di-roll back.

"Hakim menganggap data CDR sudah cukup. Padahal data CDR ada yang bisa direkayasa oleh orang-orang IT," ujar Maqdir. Disamping itu, kata dia, soal anak peluru.

"Menurut ahli forensik Mun'in Idris, anak peluru berdiameter 9 mili. Tetapi ahli senjata mengatakan, tidak mungkin 9 mili dari senjata revolver yang menjadi barang bukti," kata Maqdir.

Begitu juga persidangan mendengar keterangan saksi Rani Juliani yang dilakukan secara tertutup. Padahal, ujar Maqdir, Antasari tidak pernah meminta agar persidangan dengan saksi Rani dilakukan tertutup.

"Hakim menganggap tidak sesuai dengan kepentingan hukum. Ini aneh terdakwa tidak diminta, tetapi hakim menutupnya," kata dia.

"Atas dasar itulah, KY ingin mengetahui adanya fakta-fakta pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Karena, fakta-fakta itu tidak dipertimbangkan hakim. Apalagi kami juga membaca berita bahwa sebelum sidang, majelis hakim dikumpulkan. Termasuk di antaranya memasukkan keterangan saksi Hendrikus yang tidak pernah disidang, tetapi ada keterangganya, seolah-olah Hendrikus mengikuti terus almarhum," katanya.

Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, kemarin, menyatakan bahwa Antasari bukan satu-satunya korban dari peradilan sesat.

"Bukan cuma Antasari, ada lagi yang lain yang menjadi korban peradilan sesat, termasuk Mbok Minah (perempuan tua yang diadili karena maling beberapa buah kakao)," ujar mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu.

Jimly menjelaskan, peradilan merupakan peradilan yang hanya menegakkan peraturan, bukan menegakkan keadilan. Karena itu, ia meminta pemerintah melakukan penataan sistem hukum secara radikal.