Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Setelah Indonesia 'Absen', Pasokan Bauksit dari Malaysia ke Tiongkok Meningkat
Oleh : Redaksi
Senin | 24-11-2014 | 08:21 WIB
bauskit.jpg Honda-Batam
Ilustrasi

BATAMTODAY.COM, Kuala Lumpur - Pemerintah Indonesia telah melarang ekspor bijih mineral, termasuklah bauksit. Industri di Tiongkok kelimpungan karena Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pemasok bauksit ke Negeri Tirai Bambu itu. Kini, Malaysia disebut-sebut "mengambil alih" peran Indonesia untuk memasok bijih bauksit ke Tiongkok.

Seperti diulas Reuters, tambang bauksit bermunculan di Malaysia dan pengiriman jumlah bahan baku yang digunakan untuk pembuatan aluminium ke Tiongkok terus meningkat pasca-pelarangan ekspor bijih mineral oleh Indonesia.

Tiongkok akan membutuhkan sekitar 130 juta ton bauksit tahun depan untuk memasok industri aluminium yang tumbuh dengan cepat. Untuk memenuhi kebutuhan industri itu, Tiongkok harus mengimpor sekitar 36,8 juta ton, menurut konsultan asal Inggris, Commodities Research Unit (CRU).

"Pasti impor bauksit dari Malaysia akan meningkat secara signifikan
tahun depan," kata Wan Ling, analis CRU di Beijing, seraya meramalkan pengiriman negara ke Tiongkok bisa mencapai 10 juta ton.

Reuters menulis, ini akan menjadi lompatan yang besar. Malaysia hanya memasok 1,27 juta ton bauksit ke Tiongkok dalam sembilan bulan pertama tahun ini, meskipun itu 'sudah' 12 kali lebih banyak dari 105.000 ton yang dikirim pada periode yang sama pada 2013.

Malaysia pun menjadi negara yang penting bagi Tiongkok setelah
sebelumnya berharap dari Indonesia.

"Semakin banyak kilang alumina di Tiongkok yang membeli bauksit dari Malaysia. Mereka telah melakukan beberapa investasi dalam hal kemampuan pengiriman dan juga infrastruktur untuk mendapatkan bauksit. Malaysia tampaknya seperti pengganti peran," kata Ling.

Kuantan di Malaysia merupakan lokasi hotspot untuk tambang bauksit yang baru. Ideal Mineral Resources (IMR) pun membuka satu penambangan baru beberapa bulan yang lalu, kata Johnny Wong, Direktur IMR kepada Reuters.

Wong mengatakan, penambangannya itu memproduksi sekitar 4.000 ton bauksit per hari dan berencana untuk menggenejot produksi menjadi 10.000 ton pada kuartal pertama tahun depan.

"Seratus persen pergi (diekspor) ke Tiongkok. Tidak hanya dari kami,
tapi dari wilayah penambangan kami di Kuantan," katanya, seraya
menambahkan bahwa beberapa perusahaan Tiongkok juga telah memulai operasi baru-baru ini, baik di bidang pertambangan maupun membeli bauksit dari tambang di daerah tersebut.

Beberapa penambang pun mengambil keuntungan dari infrastruktur yang tak dimanfaatkan, seperti pelabuhan, kata sumber-sumber industri.

Sementara untuk mengimbangi absennya bauksit dari Indonesia, Tiongkok juga telah meningkatkan impor alumina dalam bentuk semi-olahan bauksit dari negara-negara seperti India. Impor alumina pun terdongkrak sebesar 58 persen sepanjang tahun ini menjadi 3,9 juta ton, karena impor bauksit anjlok 47 persen.

Namun analis mengatakan, terlalu dini untuk mengatakan bahwa pasokan bauksit dari Malaysia mampu memenuhi kebutuhan Tiongkok ke depannya. Bahkan masih di bawah separuh kebutuhannya.

Kekurangan pasokan bauksit telah mengancam industri di Tiongkok untuk mengembangkan kapasitas produksi aluminium.

Produksi aluminium Tiongkok diperkirakan akan meningkat menjadi 30,65 juta ton tahun depan dari sekitar 28 juta ton tahun ini, menurut angka CRU, karena beberapa bentuk logam diekspor untuk menanggapi pasokan yang parah di luar Tiongkok.

Pasar barat cenderung defisit tahun ini setelah produsen Tiongkok memangkas kapasitas produksi sebagai tanggapan terhadap harga yang anjlok.

Tiongkok memberlakukan pajak ekspor 15 persen pada aluminium primer, sehingga harganya mahal. Tapi ekspor produk setengah jadi, yang tidak menarik pajak ekspor, telah meningkat 9,8 persen tahun ini menjadi 2,5 juta ton.

Bulan lalu, harga bauksit telah diperdagangkan sekitar USD60,50 per ton sejak April dan setiap kenaikannya tidak akan mempengaruhi harga aluminium karena biaya pembuatannya hanya separuh dari biaya produksi.
(*)

Editor: Roelan/Dodo