Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Relevansi Revolusi Mental dan Pancasila
Oleh : Redaksi
Kamis | 23-10-2014 | 08:06 WIB

Oleh : Toni Sudibyo *)

BERBICARA terkait ide besar Presiden Joko Widodo alias Jokowi yaitu revolusi mental, maka hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan mental dan ideologi itu sendiri, sebab dua hal tersebut tidak dapat dipisahkan.

Mental berkaitan dengan proses psikologis, sedangkan ideologi berkaitan dengan state of mind and heart. Oleh karena itu, sebenarnya intisari dari gagasan atau ide besar revolusi mental yang dikemukakan Presiden Jokowi saat kampanye Pilpres yang lalu, sejatinya adalah upaya untuk menyelaraskan pemikiran, perilaku dan hati, sehingga dapat menghindari terjadinya kemunafikan.

Tantangan terberat dari realisasi revolusi mental Presiden Jokowi adalah, mampukah kita menempatkan Pancasila sebagai landasan filosofis sekaligus konkret dalam arti etis kenegaraan dan kebangsaan.

Tanggung jawab setiap warga untuk belajar mengkonkretkan Pancasila tanpa menghilangkan arti substansial dalam kehidupannya berbangsa sudah menjadi tautologis, tetapi sejauh manakah pilihan etis dan pengutamakan kebersamaan berbangsa yang dipakai oleh keanekaragaman budaya.

Dalam soal bahasa kita berhasil mengkonkretkan komunikasi satu bahasa kebangsaan yaitu Bahasa Indonesia, prestasi luar biasa dalam suatu negara yang pluralis dibanding negara pluralis lainnya.

Salah satu hal penting dalam pelaksanaan revolusi mental di Indonesia adalah dengan mengacu atau mengedepankan kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar hukum, sedangkan konstitusi atau Batang Tubuh UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm artinya sebagai hukum dasar.

Hal ini harus ditekankan, karena diakui atau tidak, masih banyak upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi negara dengan ideologi lainnya seperti komunis, sosial demokrat, LGBT (lesbi, gay, bisex dan transgender), ataupun ideologi sesat lainnya dengan mempropagandakan secara terus menerus bahwa Pancasila tersebut sudah usang.

Secara kongnitif hal ini dapat dijelaskan bahwa ideologi pada dasarnya substantif, maka setiap kelompok atau siapapun yang meragukan hal substantif sama saja dengan keinginan untuk mengganti hal yang substantif tersebut. Tidak mungkin secara logika mengganti fondasi rumah tanpa merobohkan rumah tersebut.

Bangsa Amerika Serikat tidak mungkin meragukan lagi apa yang sudah disepakati dalam Declaration of Independence-nya atau Bangsa Inggris sudah tuntas nasionalisme dengan monarchy atau Bangsa India tidak mungkin meragukan prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Gandhi dan Nehru.

Semua itu adalah hal yang substantif, kecuali dengan sengaja atau tidak sengaja, karena pemahaman dan wawasan filosofis seseorang atau sekelompok orang yang tidak sesuai dan tidak dimengerti hal yang substantif tadi, maka dengan cara revolutif dan evolutif berniat mengubah nilai substantif itu. Oleh karena itu, sudah sewajarnya seluruh Bangsa Indonesia tidak perlu meragukan Pancasila.

Percaya atau tidak dan diakui atau tidak, kondisi Bangsa Indonesia yang sudah mengalami dekadensi moral atau moral hazard sekarang ini, karena kita tidak pernah melaksanakan ideologi negara Pancasila yang sudah ditemukan oleh para founding fathers kita secara serius.

Oleh karena itu, yang terjadi sekarang ini adalah krisis multi dimensional dengan indikasi terjadi reduksi atas rakyat Indonesia menjadi masyarakat "kuda bendi" atau masyarakat kacamata kuda, meminjam istilah Prof. DR. Soerjanto Poespowardojo dari Universitas Indonesia, yang telah menimbulkan beberapa implikasi buruk seperti masyarakat menjadi permisif, acuh tak acuh, lebih mengedepankan sikap postmodernisme dan kehilangan jejak bangsa sendiri, tumbuh dan berkembangnya pendukung neoliberal dan nilai-nilai life style snobisme mengarah dan mengubah kehidupan ke arah konsumtifisme.

Oleh karena itu menjadi tantangan kita bersama bahwa perlu ada penyelamatan dan rehabilitasi kondisi serta konstelasi keterpurukan masyarakat dengan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, menghidupkan kesadaran ideologi masyarakat (sadar/eling-bangun-mandiri) serta menunjukkan identitas, integritas dan kewibawaan Pancasila.

Bagaimana Revolusi Mental Versi Pancasila?
Yang menarik dan ditunggu dari tulisan ini oleh pembaca kemungkinan ada bagaimana revolusi mental versi Pancasila? Jawabannya sebenarnya sudah diguidence dalam sila-sila dari Pancasila itu sendiri.

Revolusi mental berdasarkan sila pertama Pancasila, maka harus direfleksikan dengan kehidupan beragama dan keagamaan yang semakin sehat, menghargai dan terjadinya toleransi beragama yang sangat kuat.

Namun, juga ada komitmen kuat untuk siapapun tidak melakukan kegiatan "mengagamakan atau memindahkan orang atau kelompok yang sudah beragama" secara terang-terangan atau tersembunyi dengan dalih, motif atau alasan apapun juga, karena hal tersebut akan merusak dan mencederai toleransi beragama itu sendiri.

Revolusi mental sesuai sila pertama Pancasila juga menjadi tantangan bersama seluruh umat beragama di Indonesia untuk mereaktualisasi atau merealisasikan nilai-nilai luhur ajaran agamanya dalam pekerjaan, hubungan sosial dan hubungan berbangsa.

Laporan Human Rights Watch New York (2013) : kaum minoritas beragama dan perempuan terus mendapat perlakuan diskriminatif. Penyerangan dan pengusiran atas kelompok Syiah dan Ahmadiyah, serta maraknya peraturan yang "memojokkan" perempuan membuat penegakkan HAM di Indonesia mundur pada 2013.

Laporan ini sama dengan penilaian Setara Institute (2013). Catatan Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan, selama 2013 ada 342 peraturan yang membedakan perlakuan terhadap perempuan dari lelaki, 97% diantaranya di daerah misalnya peraturan cara berpakaian, peraturan prostitusi dan pornografi. Jika revolusi mental terjadi berdasarkan sila pertama Pancasila, maka hal tersebut diatas tidak akan terjadi.

Revolusi mental berdasarkan sila kedua Pancasila berarti pemerintahan Jokowi dan JK harus segera mengupayakan keadilan dan mencegah meluasnya moral hazard dan kebiadaban yang disinyalir banyak kalangan terjadi di masyarakat, karena penegakan hukum yang tidak adil, dapat dibeli dan tumpul keatas dan tajam ke bawah.

Tellyrand mengibaratkan kekuasaan ibarat bayonet artinya banyakyang bisa dilakukan dengan bayonet, kecuali duduk diatasnya artinyakekuasaan cenderung digunakan untuk melukai pihak lain.

Oleh karena itu, Jokowi harus dapat memastikan para menteri yang dipilihnya adalah bukan orang yang selalu minta dilayani, sewenang-wenang atau otoriter dan lain-lainnya. Di samping itu para menteri juga menyadari bahwa jabatannya adalah "subsidi dari rakyat" sebab rakyat sudah menyerahkan kepercayaannya kepada Jokowi yang sebagian kepercayaan tersebut diberikan ke para menterinya. Artinya para menteri tersebut berkuasa karena "subsidi kepercayaan rakyat", sehingga dosa besar jika mereka menindas rakyat.

Revolusi mental sesuai sila kedua Pancasila adalah bagaimana kita menjaga persatuan bangsa ini, sehingga harus ada kata sepakat bahwa gerakan separatisme dan radikalisme harus ditolak, serta bagaimana masyarakat menyelesaikan segala masalah tidak dengan berkonflik, karena masih sangat sering terjadi konflik antar warga masyarakat di beberapa daerah akhir-akhir ini, itupun dengan hal-hal sepele atau tidak mendasar.

Revolusi mental berdasarkan sila keempat Pancasila adalah bagaimana segala kebijakan yang terkait dengan nasib rakyat harus diputuskan oleh eksekutif dan legislatif termasuk yudikatif secara arif bijaksana, mengedepankan musyawarah mufakat dan tidak selalu menggunakan voting. Baik, KIH dan KMP ditantang untuk mewujudkan revolusi mental di bidang ini, karena pada dasarnya masyarakat sebenarnya lebih bijak, lebih dewasa dan lebih nyantai dalam melihat sebuah permasalahan dibandingkan para politisi. Diakui atau tidak, rakyat lebih negarawan dan lebih ikhlas dibandingkan mereka.

Revolusi mental berdasarkan sila kelima Pancasila adalah bagaimana mewujudkan keadilan sosial dalam wadah persatuan dan kesatuan NKRI. Niat Jokowi untuk mewujudkannya tidak perlu diragukan, karena indikasi dasarnya adalah saat pembagian tumpeng saat budaya rakyat di Monas tanggal 20 Oktober 2014, dimana Jokowi memotong tiga nasi tumpeng yang diberikan kepada perempuan yang menjadi sopir taksi yang juga tulang punggung keluarga (filosofisnya Jokowi sangat menghargai pekerja keras dan jujur).

Tumpeng kedua diberikan kepada seseorang dari Papua (filosofisnya Jokowi akan memperhatikan dan memperjuangkan mereka yang tertindas dan kurang beruntung selama ini) dan tumpeng ketiga diberikan kepada pemudi yang menjadi juara fisika internasional (filosofisnya Jokowi concern dengan pembangunan SDM, senang dengan anak cerdas yang nasionalis). Semoga.

*) Penulis adalah alumnus Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia.