Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pembangunan Karakter Bangsa dan Demokrasi yang Tercabik
Oleh : Redaksi
Kamis | 09-10-2014 | 08:25 WIB

Oleh : Otjih Sewandarijatun *)

FILSUF Jerman, Immanuel Kant mengingatkan dengan tegas bahwa jika dalam suatu masyarakat majemuk, terjadi suatu kondisi dimana  masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, maka hal yang pasti terjadi adalah konflik dan perpecahan. Kant percaya, untuk membangun konstitusi negara, diperlukan suatu hukum dan manajerial pemerintahan yang memaksa setiap orang menghormati kebebasan orang lain. Negara tak perlu mengatur rakyatnya dengan kontrol atas doktrin moral ataupun religius.


Namun nyatanya perkembangan demokrasi yang terjadi di Indonesia dipenuhi dengan eforia reformasi dengan hingar bingar demokratisasi, desentralisasi, dan de-korupsi, kolusi dan nepotismeyang telah menggusur identitas politik, ideologi, dan budaya Indonesia. Perkembangan demokrasi yang absurd secara nyata baik secara pelan-pelan, atau tidak disadari mulai menggerogoti dan menghancurkan karakter kebangsaan. Permasalahan ini layaknya kanker yang apabila terlambat disadari ,maka kata terlambat pun akan percuma.

Demokratisasi dan desentralisasi telah membuat banyak pihak sibuk memperkuat identitas masing-masing berdasarkan daerah, suku, dan agama yang rentan konflik. Karakter kebangsaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 terasa semakin jauh dari realitas masyarakat sehari-hari. 
Dalam kasus nyata misalnya; Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama atau yang kerap disapa Ahok, ditolak oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan golongan suku dan agama tertentu untuk naik menjadi gubernur. Perbedaan entitas suku, agama, ras, dan golongan, memicu penolakan seorang anak bangsa yang secara demokrasi telah terpilih melalui pemilihan yang langsung oleh rakyat.

Membangun Karakter Bangsa

Sekarang ini, pembangunan karakter bangsa menjadi kebutuhan sangat urgen dalam menancapkan nilai dan jati diri bangsa bagi generasi masa depan sehingga mempunyai semangat dan ikatan kuat membangun Indonesia. Dengan karakter itulah, generasi mendatang  bisa melanjutkan semangat perjuangan para pendiri bangsa.Ini sangat penting karena kondisi bangsa Indonesia sedang tercabik dengan berbagai ulah pihak yang merusak karakter bangsa. Tidak sedikit kaum terpelajar yang justru menjadi otak lahirnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Mengutip salah seorang pemikir di Indonesia, Franz Magnis menilai Indonesia perlu membangun kembali karakter bangsa mengacu Pancasila. Sebab, karakter bangsa dengan manusia beradab, sopan, toleran, bersemangat kebersamaan, Bhinneka Tunggal Ika, rela berkorban bagi bangsa, dan berkemanusiaan luhur memudar. Kian banyak orang tak beradab, sombong, intoleran, dan penuh kebencian. Banyak orang cepat bereaksi dengan kekerasan, eksklusif, dan loyo nasionalisme. Indonesia terancam, terutama oleh budaya konsumerisme, hedonis, ketidakadilan sosial, dan intoleransi.

Untuk membangun kembali karakter kebangsaan, Bangsa Indonesia harus kembali mengembangkan nilai-nilai ideal Pancasila sebagai karakter bangsa. Untuk itu, penyelenggara negara dan warga mesti menyosialisasikan dasar negara secara lebih kreatif sehingga menghasilkan pikiran, sikap, dan tindakan sesuai kelima sila itu. Dalam posisi ini, maka negara wajib membangun politik kewarganegraan an lewat penegakan hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga. Selain itu, kembangkan pula politik kewarganegaraan baru yang disokong oleh masyarakat dengan memahami Pancasila secara mandiri.

Setidaknya secercah harapan mulai terbuka pada usaha membangun kembali karakter bangsa ketika Presiden Terpilih Joko Widodo menyatakan bahwa revolusi mental diperlukan dalam merubah nasib dan karakter bangsa Indonesia ke depan. Menurutnya; selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.

Meski gagasan itu terasa masih mengambang, namun revolusi mental bila dilaksanakan secara konsisten dapat membawa membangun karakter bangsa di tengah demokrasi yang tercabik. Revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terdahulu. Pemerintah nantinya tidak secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren sebagai platform, karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.

Dalam implementasinya, pembangunan karakter berbasis revolusi mental ini tidak boleh dilakukan dengan pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsir, negara yang melakukan. Cara terbaik mesti dilakukan dengan pendekatan horizontal dalam bingkai semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi berbagai kelompok sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha. 
*) Penulis adalah alumnus Universitas Udayana, Bali dan peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) Jakarta.