Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Nilai Pilkada Langsung Membuat Kepala Daerah Banyak yang Dipenjara
Oleh : Surya
Selasa | 16-09-2014 | 08:33 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Fraksi Partai Gerindra MPR RI Martin Hutabarat menegaskan, pelaksanaan pilkada secara langsung yang dilaksanakan hampir selama 10 tahun membuat banyak kepala daerah di penjara.


Karena itu,  pilkada di DPRD merupakan salah satu solusi mencegah pilkada biaya tinggi dan dapat meminimalisir pejabat daerah seperti gubernur, bupati dan walikota meringkuk di Hotel Prodeo alias bui karena korupsi APBD.

"Sejak lama  saya mendukung pilkada DPRD. Dan ternyata selama 9 tahun pilkada Langsung yang digelar sudah banyak gubernur, bupati bahkan walikota yang masuk penjara," kata Martin Hutabarat pada Dialog Empat Pilar MPR dengan tema 'Quo Vadis Pemilukada' di  Jakarta, Senin (15/9/2014). Pembicara diskusi lainnya adalah Dekan Fisip Universitas Al Azhar Jakarta Damayanti, MA, dan peneliti LP3S Taftazani.

Menurut Martin, seharusnya fakta tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan di Sumatera Utara, Gubernurnya masuk penjara. Begitu juga dengan walikotanya. Bahkan ironisnya. walikota pengganti pun masuk penjara.

Fenomena ini kata Martin sangat memprihatinkan. Pejabat daerah ramai-ramai masuk penjara karena korupsi. Dia juga mengaku hatinya miris melihat sikap partai politik yang tidak merasa malu `kalau kadernya yang menjadi pejabat daerah masuk penjara karena korupsi.

"Faktanya bahwa pilkada langsung menjadi sumber korupsi dan tidak ada manfaatnya kalau dipertahankan," tegasnya.

Menurut dia, sistem pilkada langsung  menjadi sumber korupsi karena untuk menjadi calon.  Pilkada harus memiliki perahu. Nah untuk mendapatkannya,   kata Martin  tidak gratis tapi harus membayar mahal kepada parpol. Begitu juga dengan biaya kampanye, membentuk tim sukses. Belum lagi dana yang dikeluarkan jika pilkada harus dilakukan dua putaran.

"Akibatnya  yang menang pilkada harus mengembalikan biaya yang dikeluarkan dengan menggerogoti APBD. Sistem seperti itukah  yang kita  perlukan?" paparnya mempertanyakan.

Sedangkan peneliti LP3ES   Taftazani menilai, pilkada langsung lebih baik daripada pilkada tidak langsung melalui DPRD.

"Pilkada langsung adalah jalan terbaik untuk membangun demokrasi, karena melibatkan langsung hak politik rakyat," kata Taftazan.  

Menurut Taftazani, sistem politik di Indonesia adalah sistem presidensial bukan sistem parlementer sehingga pilkada langsung yang lebih tepat diterapkan.

"Kalau pada penyelenggaraan pilkada langsung masih ada ekses negatif, ekses itu yang harus diperbaiki, bukannya malah mengembalikan kepada pilkada tidak langsung ke DPRD," kata Taftazani.

Ia menjelaskan, beberapa ekses yang dijadikan alasan oleh koalisi merah putih untuk mengembalikan pilkada ke DPRD adalah biayanya sangat mahal, rawan politik uang, rawan praktik korupsi, terjadi pecah kongsi di antara pasangan kepala daerah, serta terjadi bentrok di antara pendukung calon kepala daerah.

Menurut Taftazani, jika biaya pilkada langsung mahal, harus melihatnya dari pendekatan untuk membangun perabadan dan demokrasi, jangan melihatnya dari pendekatan dagang dan transaksional.

"Pilkada langsung juga melibatkan rakyat untuk menggunakan hak politiknya sebagai pemilih sehingga dapat membangun demokrasi," katanya.

Taftazani menambahkan, usulan pilkada dikembalikan ke DPRD muncul tiba-tiba pada pembahasan RUU Pilkada yang menjelang usai, dan kemudian menimbulkan polemik.

Padahal, kata dia, aspirasi rakyat sangat kuat menginginkan pilkada secara langsung.

Menurut dia, jika pilkada melalui DPRD dikhawatirkan akan terjadi tekanan-tekanan dari DPRD kepada kepala daerah dan semakin jauh dari penegakan demokrasi.

Ia mencontohkan, pada kepala daerah di DKI Jakarta, ketika Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menyatakan mengundurkan diri dari partai pengusungnya, yakni Partai Gerindra, ada anggota DPRD DKI Jakarta yang membuat pernyataan ancaman pelantikannya sebagai gubernur bisa batal.

"Pernyataan itu disampaikan pada saat RUU Pilkada masih dibahas dan belum menjadi UU, bagaimana jika nantinya sudah menjadi UU," katanya. 

Dekan FISIP Universitas Al Azahar Jakarta, Damayanti menambahkan, pilkada langsung lebih baik dibandingkan pilkada melalui DPRD. Dengan pemilihan langsung, kata dia, rakyat merasa sangat dekat dengan pemimpinnya dan mengenal calon pemimpin yang akan dipilihnya. Selain itu, pemilihan langsung juga menunjukkan ada keceriahan dan itu yang membuat rakyat juga senang.

Editor : Surya