Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

APKASI Nilai Pengembalian Pilkada ke DPRD Bentuk Perampokan Hak Politik Rakyat
Oleh : Surya
Minggu | 07-09-2014 | 18:01 WIB
Isran Noer.jpg Honda-Batam
Ketua APKASI Isran Noor yang juga Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) menilai pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD sebagai bentuk perampokan hak politik rakyat.


Padahal reformasi telah melahirkan sistem politik dan demokrasi yang lebih adil, jujur, bebas, transparan dan sebagai wujud untuk meningkatkan hak-hak dan partisipasi politik rakyat dalam pemilihan umum, termasuk pilkada. 

"Jadi, hak politik dan kebebasan rakyat dalam pemilu, khususnya pilkada, jangan sampai dikembalikan ke DPRD. Sebab, langkah itu sama dengan perampokan terhadap kedaulatan politik rakyat, yang telah kita perjuangkan bersama melalui gerakan reformasi 1998 silam," tegas Isran Noor, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), kepada wartawan di Jakarta, Minggu (7/9/2014).

Menurut Bupati Kutai Timur Kalimantan Timur itu, jika pilkada dipilih oleh DPRD, nantinya para bupati dan wali kota akan sibuk hanya untuk ngurusi DPRD, dan bukannya memperhatikan rakyat. Sebab, kepala daerah itu merasa berhutang budi kepada DPRD yang telah memilihnya.

"Itu pernah terjadi waktu pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pilkada. Saat itu terjadi instabiltas di beberapa pemerintahan daerah, akibat semua aktifitas kepala daerah direcoki oleh DPRD. Bahkan dua hari sebelum memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), sudah ditolak oleh DPRD, karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD. Seperti terjadi kepada Walikota Bontang," katanya.
 
Isran menyarankan kepada partai politik maupun DPR RI yang sedang membahas RUU Pilkada sekarang ini untuk tidak melakukan langkah mundur.  Jika DPR mengembalikan pilkada ke DPRD, maka seluruh pengurus APKASI, APPSI, dan masyarakat akan menggugat atau judicial review ke Mahkamah konstitusi (MK).

"Saya dan seluruh pengurus APKASI dan APPSI akan mengggugat ke MK, dan MK dipastikan akan mengabulkannya karena UU itu telah mencederai dan merampok hak-hak politik rakyat. Itu baru proses hukum. Tapi, kalau rakyat se-Indonesia protes, demo, maka bisa lumpuh negara dan DPR RI ini," kata Isran mengingatkan.

Di mana alasan pilkada langsung karena biayanya mahal, terjadi konflik horisontal, banyak politik uang, banyak terjadi korupsi, dan pasangan kepala daerah pecah kongsi di tengah jalan,  menurut Isran Noor sebagai kesimpulan yang mengada-ada.

Menurutnya, semua itu bisa diatur dengan regulasi dan sistem yang lebih baik, untuk meminimalisir dampak mudharat-negatif tersebut. Apalagi tidak ada bukti bahwa korupsi, konflik sosial, money politics, dan pecah kongsi itu akibat dipilih langsung oleh rakyat.

"Buktinya Aceh dan Sumatera Barat bisa melakukan Pilkada langsung serentak pada Desember 2012 lalu, dan aman-aman saja," ujarnya.

Soal biaya pilkada, kata Isran, bisa ditekan lebih murah lagi jika, misalnya, untuk pembuatan baliho, iklan dan atribut alat peraga kampanye lainnya termasuk di TV dibatasi, tak ada kampanye terbuka, dan dilakukan langsung oleh penyelenggara pemilu. Baik KPU maupun Bawaslu.

"Jadi, pasal-pasal itu harus direvisi untuk efisiensi Pilkada, agar calon yang beruang dan tidak punya modal mempunyai kesempatan yang sama dalam berpolitik," ungkapnya.

Ketua APKASI berharap agar DPR tidak merampok kedaulatan dan kebebasan rakyat, karena rakyat telah membayar pajak, taat hukum, mencintai negara ini, dan sebagai warga negara yang baik, maka hak-hak politiknya yang 5 tahun sekali itu jangan sampai diambil-alih.

"Kepala desa saja dipilih langsung, masak kepala daerah dipilih DPRD, padahal oleh DPRD itulah akan makin marak terjadinya politik transaksional yang lebih mahal," katanya.

Transaksi itu, kata Isran, bisa dilakukan melalui pembelian parpol pengusung terhadap calon yang mempunyai uang, tidak peduli apakah dia itu tidak kapabel, tidak layak, bodoh, jejak rekamnya buruk dan juga tidak dikehendaki rakyat, maka akan makin hancur negara ini.

"DPRD nanti cukup memainkan 50 % plus satu saja di mana seseorang sudah bisa menjadi kepala daerah.  Kalau ada 40 anggota DPRD, maka cukup membayar 21 orang," katanya.

Sebelumnya, pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR RI seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, PKS, yang tergabung dalam koalisi merah putih (KMP) mendukung Pilkada dipilih oleh DPRD dengan berbagai alasan dan dampak yang mudharat tersebut. Sementara PDIP, PKB dan Hanura tetap dipilih langsung oleh rakyat.

Pembahasan RUU Pilkada tersebut pada minggu ini akan dilakukan, dan akhir September rencananya akan disahkan di Paripurna DPR RI, sebelum anggota DPR RI terpilih untuk periode 2014-2018 dilantik 1 Oktober 2014 mendatang.

Editor: Surya