Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

69 Tahun Merdeka dan Pudarnya Nasionalisme Anak Bangsa
Oleh : Opini
Sabtu | 16-08-2014 | 16:00 WIB

Oleh Romi Chandra
SEIRING bertambahnya usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang sudah menginjak 69 tahun, rasa nasionalisme yang dimiliki masyarakat juga seakan semakin tua. Rasa mencintai tanah air dan menjunjung tinggi persatuan seperti pudar, tergerus jaman dan dibawa mati para pendahulu.

Tidak perlu muluk-muluk. Memasuki H-1 Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke -64 ini, sedikit pun tidak terlihat kemeriahan di tengah masyarakat dalam menyambut peringatan hari kemerdekaan itu. Hal kecil sebagai tanda turut menyambut hari bersejarah itu, seperti memasang Sang Merah Putih di depan rumah, pun masih banyak masyarakat tidak melakukan. Seakan masyarakat lupa bagaimana kerasnya perjuangan para pendahulu merebut kemerdekaan semasa era penjajahan.

Parahnya, semakin lahir generasi muda yang diharapkan bisa mengisi kemerdekaan dengan memerangi kemiskinan dan memajukan negara yang terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi lautan luas, malah semakin tidak mengetahui apa arti dari nasionalisme itu sendiri.

Nasionalisme dalam arti luas adalah perasaan cinta atau bangga terhadap tanah air dan bangsanya yang tinggi, tetapi terhadap bangsa lain tidak memandang rendah. Dalam menjalin hubungan dengan bangsa lain, ia selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan, serta mengedepankan kepentingan dan keselamatan bangsanya. Namun, tetap menempatkan bangsa lain sebagai berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Tentunya, generasi muda saat ini juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Memudarnya rasa nasionalisme tidak terlepas dari peran orangtua dan tenaga pendidik di sekolah. Jika yang terjadi, banyak orangtua cabuli anak kandung, oknum guru di sekolah perkosa murid dan banyak hal tercela lainnya, sangat mencoreng serta mengajarkan anak-anaknya untuk tidak saling menghormati.

Ditambah dunia yang semakin canggih, ilmu teknologi semakin membuat generasi muda terlena dan melupakan yang seharusnya mereka tanamkan dalam diri masing-masing. Nilai-nilai dan beragam norma juga terabaikan, sehingga semakin hancurlah generasi muda saat ini.

Tentu kita akan bertanya, siapa yang harus memperbaiki semua ini? Siapa yang bertanggung jawab atas terkikisnya rasa nasionalisme, dan digantikan budaya 'siapa loe, siapa gue'?

Jika berbicara tentang etika dan moral yang dimiliki para pemimpin negara saat ini, dengan janji-janji palsunya, jelas tidak akan mengubah pola pikir dan malah akan menjerumuskan masyarakat semakin dalam. Korupsi dimana-mana, tidak adanya kepastian dan keadilan hukum karena uang, menyulitkan tabiat mereka yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kekacauan ini semakin tipis untuk diharapkan.

Yang dibutuhkan sekarang ini, adalah kesadaran dalam diri masing-masing untuk bersama-sama kembali menumbuhkan rasa nasionalisme dan memberikan pendidikan yang terarah kepada generasi muda. Jangan campuri pendidikan dengan politik. Jangan hanya memberikan hukuman se-adil-adilnya hanya bagi masyarakat miskin, sementara para pejabat-pejabat duduk manis menikmati hidangan dari hasil korupsi.

Kembalikan nilai-nilai patriot, agar persatuan dan kesatuan bangsa ini bisa lahir dengan nuansa yang berbeda. Bukan berperang memegang senjata, tapi berjuang memajukan negeri ini menjadi bangsa yang disegani dan bangsa yang diperhitungkan. Namun, siapa yang akan melakukannya? Kembalilah bertanya pada diri masing-masing.

Penulis adalah wartawan BATAMTODAY.COM