Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Kemendagri Mengenai Pilkada

86 Persen Kepala Daerah Terjerat Korupsi, 94 Persen Pecah Kongsi, 11 Persen Politik Dinasti
Oleh : Redaksi
Sabtu | 19-07-2014 | 10:58 WIB
djohan1.jpg Honda-Batam
Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dampak pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004 menuai banyak masalah. Paling tidak, 1.000 pilkada secara langsung yang digelar, menbimbulkan berbagai macam distorsi yang tidak diharapkan walaupun ada sisi positif, misalnya kepala daerah dekat dengan rakyat. Namun dari total kepala daerah hasil pilkada yang bermasalah hukum, 86 persen terjerat kasus korupsi.

Hal ini dipaparkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Djohermansyah Djohan, dalam diskusi otonomi daerah, di Jakarta, belum lama ini. "Buah dari desentralisasi termasuk pilkada secara langsung membuat pelaku politik tidak siap. Begitu pula masyarakat pemilih yang kurang siap serta penyelenggara (KPU) yang perlu dikuatkan kapasitasnya," ujar Djohermansyah yang dikutip dari laman Kemendagri.

Djohermansyah mengaku prihatin dengan kepala daerah yang dipilih secara langsung banyak terjerat kasus korupsi. "Dari total 524 kepala daerah, 327 orang yang terkena proses hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi," paparnya.

Menurut dia, banyaknya kasus korupsi yang dihadapi para kepala daerah itu karena politik biaya tinggi. "Biaya kampanye mahal. Kerumitan itu membuat terjadi korupsi," paparnya.

Djohermansyah juga menyoroti banyak pecah kongsi di antara pasangan kepada daerah terpilih dengan wakil kepala daerah. Berdasarkan catatan Kemendagri, kata Djohermansyah, 94 persen kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi. "Wakil dan kepala nggak harmonis pecah," kata Djohermansyah.

Selain itu, menurut Djohermansyah, Pilkada langsung juga menumbuhkan terjadinya politik dinasti.
Berdasarkan catatan Kemendagri, 11 persen pemerintahan di daerah merupakan politik dinasti, termasuk jika dilihat dari hasil pemilihan legislatif (pileg), April lalu. "Banyak keluarga kepala daerah memenangkan kursi DPR," jelasnya. (*)

Editor: Roelan