Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mahalnya Harga Kursi Presiden
Oleh : Opini
Selasa | 08-07-2014 | 09:14 WIB

Oleh Riski Ananda

SECARA PROSEDURAL, pemilihan umum (Pemilu) adalah mekanisme melakukan seleksi kepimpinan politik. Pemilu sebagai wadah regenerasi kepimpinan nasional bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Indonesia sendiri telah melaksanakan Pemilu Presiden sejak tahun 1955.

Dalam perjalanan berdemokrasi, Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung baru terlaksana setelah tumbangnya masa orde baru dan digantikan era reformasi, tepatnya pemilu 2004 menjadi Pilpres secara langsung untuk pertama kalinya dilaksanakan. Dan pesta demokrasi ini akan berlangsung kembali pada 9 Juli  2014 besol.

Biaya Penyelenggaran Pilpres
Pilpres di Indonesia termasuk kegiatan kepemiluan paling mahal di dunia. Indikasinya dapat terlihat dari alokasi dana yang dianggarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk penyelenggaran pilpres 2014, yakni sebesar Rp7,9 triliun untuk 2 putaran. 4 triliun untuk putaran pertama dan bila terjadi putaran kedua sebesar Rp3,9 triliun.

Anggaran itu digunakan KPU untuk serangkaian kegiatan seputar pemilu yang telah menetapakan 190.307.134 daftar pemilih tetap (DPT) sesuai dengan Keputusan KPU NO:477/Kpts/KPU/2014. Diantaranya digunakan untuk pengadaan barang dan jasa keperluan logistik pemilu, bimbingan teknis pemungutan dan penghitungan suara di KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan KPPS. Selain itu, dana tersebut juga akan digunakan untuk fasilitas kampanye, pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi penghitungan suara, dan penetapan hasil pemilu.

Tingginya anggaran penyelenggaraan Pilpres ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang mencapai 17.000 pulau dan jumlah pemilih yang besar dengan sebarannya yang tidak merata pada 497 kabupaten/kota, 6.980 kecamatan dan 81.272 desa. 

Biaya Menuju Kursi R1
Begitu juga dalam perebutan suara yang sudah belangsung untuk Pilpres 9 Juli 2014 oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Pasangan Prabowo dan Hatta dengan Pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla, secara intensif dan berkesinambungan keduanya telah menyisir seluruh wilayah-wilayah yang memiliki potensi suara yang signifikan untuk dikuasai mulai dari 7 Juni sampai dengan 5 Juli 2104 lalu.

Hal ini menjadikan kedua pasang calon presiden dan wakil presiden beserta dengan tim suksesnya membuat strategi-strategi merebut suara rakyat sebagai tujuan akhir dari sebuah ajang kompetisi politik. Dalam konteks kompetisi ini, mau tidak mau kedua pasang calon presiden dan wakil presiden haruslah mengorganisasi modalitas ekonomi untuk membiayai semua strategi pemenangannya.

Sangat dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk membiayai berbagai tahapan, dimulai dari pengenalan  sampai pada tahapan pemilih memiliki pilihannya, seperti biaya terhadap komunikasi politik (cetak, televisi, radio, dunia maya), kampanye akbar, transpotasi darat maupun udara, serta membiayai pengorganisasian tim kampanye dan lain sebagainya.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan hanya menggunakan 50% lebih dari jumlah suara. Pada faktanya, jumlah daftar pemilih tetap yang menggunakan hak pilihnya tidak ada yang dapat mencapai 100%.

Mengacu pada pemilu legislatif 2014 lalu, KPU menyebutkan  partisipasi pemilih hanya mencapai 75.11%  yang menggunakan hak pilihnya. Bila menggunakan  data partisipasi pemilih pada pemilihan legislatif 2014 lalu sebesar 75 % (dibulatkan) dikaitkan dengan DPT Pilpres 2014  maka perkiraan partisipasi  pemilih pilpres  2014  sebesar: 142,730,351  (190.307.134 DPT x 75%).  Sedangkan data KPU untuk partisipasi pemilih pilpres 2009 sebesar : 127,983,655 (73% ) dari total DPT sebesar 176,411,434.

Oleh karena itu kedua pasang calon presiden dan wakil presiden setidak-tidaknya harus mendapatkan: 142.730.351 perkiraan partisipasi pemilih pileg 2014  x 50% + 1 yaitu:  71.365.177 suara pemilih yang harus direbut untuk dapat memenangkan ajang kompetisi politik ini. Sebagai perbandingan pada pilpres 2009, penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden mencapai 73,874,562  suara pemilih. 

Bila saja digunakan biaya minimal untuk tahap mengenalkan sampai pada tahapan pemilih memiliki pilihannya  sebesar Rp. 50.000/pemilih , itu artinya setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden harus menyediakan modalitas ekonomi  sebesar:  Rp. 50.000 x 71.365.177 suara pemilih yang harus direbut pada pilpres 2014  yaitu : Rp.3.568.258.850.000.  (3,5 triliun) .Maka bila 2 calon pasang yang bertarung terdapat dana yang bergulir sebesar Rp. 7,136,517,700,000 (7,1 triliun)

Hitung-hitungan sederhana di atas sangat mungkin terjadi pada kedua pasang calon presiden dan wakil presiden selama proses pilpres berlangsung. Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memperkirakan total dana yang akan bergulir pada Pemilu 2014 yakni sebesar Rp. 115 triliun  (http://www.republika.co.id/berita/ ). 

Kekayaan Kedua Pasang Calon
Bila melihat  laporan kekayaan ke dua pasang calon  presiden dan wakil presiden yang telah dilaporkan dan diverifikasi  Komisi Pemberantas Korupsi (KPU)   masihlah  jauh panggang dari api. Dimana Calon presiden  Prabowo memiliki total kekayaan sebesar: Rp. 1,670.392.580.402 dan USD 7.503.134. Calon Wakil Presiden Hatta sebesar Rp30.234.920.584 dan USD 75.092.

Untuk pasangan Calon Presiden Jokowi sebesar Rp29.892.946.012 dan USD 27.633 sedangkan Calon Wakil Presiden Jusuh Kalla sebesesar Rp 465.610.495.057 dan USD 1.058.564. Tentunya kedua pasang calon presiden dan wakil presiden ini masih memerlukan upaya mendapatkan modalitas ekonomi yang dimaksud.

Di sisi lain, merujuk pada Undang-Undang No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yakni pada pasal 96 tentang dana kampanye membatasi sumbangan sebesar Rp1 miliar bagi perorangan dan Rp5 miliar bagi perusahaan dengan mengharuskan setiap pemberi sumbangan mencantumkan identitas yang jelas.

Dana Pihak Ketiga
Melihat besarnya modalitas ekonomi yang dibutuhkan dan adanya aturan yang membatasinya menjadikan pilpres ini memiliki resiko yang tinggi untuk ditumpangi  pihak ketiga. Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, biaya Pilpres 2014 yang cukup besar, bisa membuat para kontestan mencari bantuan dari pihak asing dan pemilik modal (http://pemilu.sindonews.com/).

Sementara itu, Undang-Undang pemilu sendiri tidak mengatur posisi pihak ketiga.  Terkait itu Prof. Ramlan Surbakti menyebutkan, "Kendati KPU sudah melakukan terobosan dengan membuat peraturan, aturan tersebut masih terbatas. Dalam PKPU No. 17 tahun 2014, aturan seputar pelaporan dana kampanye hanya diperuntukkan kepada pihak ketiga yang terdaftar sebagai tim kampanye resmi, lalu bagaimana dengan yang tidak terdaftar..? (www.kemitraan.or.id/latest-news/)

Perhitungan di atas membuka mata kita betapa mahalnya untuk menjadi pemimpin dinegeri ini  yang tidak memungkinkan  bagi seseorang yang tidak memiliki sokongan dana besar dapat terpilih menjadi pimimpin negeri ini.   Mahalnya harga kursi presiden  juga memunculakan anggapan dimasyarakat dimasyarakat bahwa dengan biaya  sebesar itu rasanya tidak mungkin mendapatkan pemimpin yang bersih.

Bercermin pada hal di atas, kita butuh sosok calon pemimpin yang berani memberi transparansi setiap rupiah yang terpakai untuk berkampanye agar rakyat bisa benar-benar yakin akan sosok pemimpin yang akan dipilih untuk memimpin negeri sebesar Indonesia ini.

Penulis adalah Wakabid Organisasi Gmni Pekanbaru/Mahasiswa UIN Suska Riau.