Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Siklus Curah Hujan di Sumatera Berulang Selama 10.000 Tahun
Oleh : Redaksi
Senin | 23-06-2014 | 17:43 WIB

BATAMTODAY.COM, Frankurt - Jumlah curah hujan di Samudera Hindia sangat berbeda. Jika hujan jarang terjadi di hutan hujan Sumatera, Indonesia, maka wilayah yang kering di Afrika Timur akan menjadi subur dan curah hujan lebih sering terjadi.

Ilmuwan dari Biodiversity and Climate Research Centre (BIK-F), California Institute of Technology, Universitas Southern California dan Universitas Bremen menemukan bahwa siklus iklim bipolar kemungkinan sudah terjadi selama 10.000 tahun. Studi yang diterbitkan  dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini menyoroti sistem iklim dari daerah yang punya pola curah hujan berdampak besar pada iklim global.

Daerah tropis memainkan peran penting dalam sistem iklim global karena menjadi asal cuaca ekstrem seperti El Nino dan musim hujan. Salah satu daerah paling penting adalah wilayah Indo-Pasifik di Asia Tenggara yang menjadi sumber terbesar uap air atmosfer serta menerima curah hujan terbesar di Bumi.

Dikutip dari newsroom Universitas Bremen, tim ilmuwan telah mengeksplorasi perubahan yang terjadi di lepas pantai barat Indonesia selama 24.000 tahun terakhir untuk memahami pola dan dinamika curah hujan lokal.

Menurut ilmuwan, ada kemungkinan bahwa yang disebut sebagai "Dipole samudera Hindia" telah menjadi fitur berulang dalam sistem iklim regional selama 10.000 tahun terakhir. Saat ini, peristiwa musiman ini terjadi setiap lima sampai tujuh tahun, termasuk pola curah hujan anomali di tepi timur dan barat Samudera Hindia. Curah hujan dipole ini sedemikian rupa sehingga curah hujan yang sangat tinggi di pantai barat Indonesia justru menyebabkan curah hujan rendah di Afrika Timur.

Studi yang mengamati curah hujan rata-rata selama 30 tahun, mengungkapkan bahwa pola yang sama telah berlangsung selama kurun waktu 10.000 tahun terakhir. "Sepertinya melihat ke masa lalu dapat membantu untuk memisahkan alam dari curah hujan akibat campur tangan manusia, yang sangat penting untuk melihat perubahan iklim yang sedang berlangsung," kata penulis utama studi tersebut, Dr Eva Niedermeyer, Penelitian Iklim Centre (BIK-F).

Niedermeyer dan rekannya meneliti inti sedimen laut yang terkumpul di lepas pantai Sumatera Barat pada kedalaman 481 meter. Mereka mempelajari lilin tanaman terestrial, lapisan di permukaan tanaman yang melindungi dari dehidrasi dan serangan mikroba, yang diawetkan dalam sedimen.

Studi ini memungkinkan untuk merekonstruksi perubahan curah hujan di masa lalu dengan mengukur komposisi isotop hidrogen yang stabil di lapisan lilin tanaman terestrial, karena curah hujan merupakan sumber utama hidrogen yang tersimpan dalam bahan tanaman. Metode memperluas cakupan temporal yang relatif singkat pada pengukuran secara langsung data iklim masa lalu.

Berakhirnya Zaman Es terakhir diikuti dengan kenaikan suhu dan pencairan lapisan es kutub yang disertai dengan peningkatan curah hujan di seluruh Indonesia dan banyak daerah lain di dunia. Sebaliknya, lapisan lilin pada tanaman di barat laut Sumatera mengungkapkan jumlah curah hujan yang tinggi selama Zaman Es Akhir dan Holosin.

Curah hujan selama 24.000 tahun terakhir tampaknya terkait dengan tingkat Paparan Sunda, dan khususnya dalam topografi tertentu didaerah tepi barat bukan hanya untuk perubahan kondisi iklim deglacial saja.
 
Meskipun studi ini membahas perubahan jangka panjang dalam intensitas pola curah hujan yang bukan 'buatan manusia', tidak berarti anomali cuaca saat ini di negara-negara Samudera Hindia tidak terpengaruh ulah manusia. Wilayah Samudra Hindia merupakan kawasan pemukiman dan kondisi iklim masa depan yang mungkin juga bisa memacu konflik.  (*)

Editor: Roelan