Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dalam Pengelolaan Negara di Tengah Globalisasi

Pengamat Tegaskan Negara Tak Boleh Menjadi 'Wasit'
Oleh : Surya Irawan
Rabu | 18-06-2014 | 17:14 WIB
mohammad_nasih.jpg Honda-Batam
Mohammad Nasih, doses pascasarjana FISP UI. )Foto: rumahpemilu.org).


BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pengajar pada Pascasarjana FISIP UI, Mohammad Nasih, menegaskan dalam perspektif ideologis, negara memang tidak boleh hanya menjadi 'wasit' dalam pengelolaan negara di tengah dunia global dan pasar bebas sekarang ini, khususnya menyangkut kedaulatan ekonomi dan politik.

Hanya saja kedua capres sama-sama mendukung demokrasi elektoral, demokrasi suara terbanyak, namun mengabaikan kualitas pemilih, sehingga demokrasi kita ini cenderung lebih liberal dibanding Amerika Serikat sendiri.

"Tak mudah mengungkapkan visi misi negara tak boleh menjadi wasit tersebut, dan itu ditegaskan oleh Prabowo. Tidak demikian Jokowi. Hanya saja kedua capres itu sama-sama menganut demokrasi vote, suara terbanyak dengan mengabaikan kualitas rakyat pemilih itu sendiri. Sehingga tak ada bedanya antara rakyat yang tidak berpendidikan dengan yang berpendidikan dan seterusnya," tegas Mohammad Nasih dalam dialog kenegaraan 'Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi Prabowo dan Jokowi' bersama anggota DPD RI Afrizal, dosen IPB Eka Intan Kumala Putri, dosen Untirta Raden Alpha Amirrachman dan anggota DPD RI Afrizal, di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (18/6/2014).

Demokrasi Indonesia kata Nasih, hanya menghitung jumlah kepala, dan bukan isi kepala dengan suara terbanyak tersebut.

"Mau dia orang baik, buruk, pemabuk, penjudi, koruptor, tak berpendidikan, gelandangan, pemulung dan sebagainya suaranya sama saja dihitung satu kepala. Kedua capres tidak memiliki perspektif demokrasi berdasarkan musyawarah sebagaimana digagas para pendiri bangsa. Karena itu, Indonesia butuh pemimpin yang berperspektif seperti para pendiri bangsa," ujarnya.

Gagasan untuk menutup kebocoran anggaran yang mencapai seribuan triliun rupiah juga merupakan gagasan yang sangat penting, dan itu harus diakui bahwa kebocoran itu terjadi dari pusat sampai daerah.

"Soal jumlahnya tentu debatable dan perlu perhitungan yang cermat dengan segala potensi kekayaan negara yang dibawa ke luar negeri. Itu jelas berbeda dengan paradigma ekonomi kartu sehat dan kartu pintar," tambah Nasih.

Menurut Raden Alpha Amirrachman, kemajuan ekonomi tersebut tidak lepas dari pendidikan. Kedua capres sama-sama kuat untuk memajukan pendidikan; yaitu satu dengan program pengembangan 12 tahun belajar, dan yang kedua dengan kartu pintar. Mengapa?

"Pendidikan itu penting, karena pada tahun 2045 Indoensia akan menjadi negara terbesar di Asia Tenggara dengan penduduk berusia produktif," katanya.

Demikian pula terhadap peningkatan kualitas dan gaji guru. Kedua capres lanjut Raden, ada yang akan langsung mentransfer gaji dan sertifikasi guru ke rekeningnya tanpa melalui pemerintah daerah, karena terbukti banyak gaji guru yang bermasalah di tangan Pemda setempat. Bahkan akan mengembangkan sekolah kejuruan.

"Jadi, kedua capres sudah menyentuh pendidikan secara agresif, tinggal realisasinya ketika memimpin Indonesia ke depan," pungkasnya.

Editor: Dodo