Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Anomali Trias Politika Indonesia
Oleh : Opini
Kamis | 12-06-2014 | 11:52 WIB

Oleh: Riski Ananda

PADA ABAD pertengahan (1000-1500 M), di Eropa kekuasaan politik menjadi persengketaan antara monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Eropa saat itu dilanda perang saudara akibat sengketa tiga kekuasaan politik tersebut. Perang terjadi akibat sistem pemerintahan yang hanya dikuasai oleh satu kekuatan politik saja sehingga menciptakan kepemimpinan yang cenderung otoriter.

Melihat keadaan itu, para intelektual muda Eropa saat itu berfikir untuk mencari sistem pemecah kekuasaan agar pemerintahan dapat berjalan efektif. Dan kemudian ditemukanlah teori pemisahan kekuasaan menjadi tiga rumpun yang kemudian dikenal dengan istilah trias politika oleh ahli hukum dan pemikir politik berkebangsaan Perancis, Montesquieu (1689-1755) di dalam karyanya berjudul 'The Spirit of Laws'. Kata trias berasal dari kata 'tri' yang berarti 'tiga' dan 'as' yang berarti 'poros'.

Trias politika yang saat ini dianut oleh Indonesia adalah memecah kekuasaan pada tiga lembaga berbeda, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Legislatif sebagai pembuat undang-undang, eksekutif yang menjalankan undang-undang, dan yudikatif yang mengawasi serta memberi sanksi pada lembaga-lembaga yang melanggar undang-undang.

Pasca reformasi, Indonesia menerapkan trias politika dengan format yang berbeda, tepatnya setelah amandemen UUD 1945. Amandemen sendiri dilakukan didasarkan pada beberapa kenyataan bahwa aplikasi pelaksanaan pasal-pasal yang terdapat pada UUD 1945 banyak yang diselewengkan demi kepentingan pribadi, politik, serta golongan, selain itu UUD 1945 dianggap dibuat dalam waktu singkat dan sudah tidak bisa diterapkan pada situasi dan kondisi yang terjadi diindonesia saat itu.

Selain itu, sistem pemerintahan setelah amandemen UUD 1945 diharapkan mampu menekan maraknya KKN ditubuh pemerintah. Amandemen juga menghapus status MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan Presiden,BPK, MA, dan amandemen juga melahirkan lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi yang berada pada poros yudikatif  yang juga sama sejajarnya dengan lembaga-lembaga tinggi yang lain.

Namun, setelah 16 tahun reformasi kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik karena tiga lembaga kekuasaan ini justru seluruhnya terlibat korupsi yang sangat merugikan negara. Di legislatif kasus korupsi begitu merajalela, di tingkat DPR-RI sudah tak terhitung jumlah kasus korupsi sejak reformasi terlaksana, mulai dari kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia hingga kasus Hambalang yang banyak menyeret elit-elit partai politik saat ini.

Bahkan penyakit korupsi ini menyebar sampai ke DPRD Provinsi dan DPRD Kabuaten/Kota. Di Provinsi Riau sendiri, kita belum lupa dengan terjeratnya enam orang anggota DPRD Provinsi Riau dalam kasus suap PON 2012, bahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, anggota legislatif yang terjerat korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD Provinsi 2.545.

Tak kalah bobroknya kekuasaan eksekutif justru lebih mentereng prestasinya di bidang korupsi, baik di tingakat pusat sampai dengan tingkat kepala daerah. Di tingkat pusat kita tahu beberapa menteri kabinet yang ada setelah reformasi banyak yang terjerat kasus korupsi. Yang terhangat adalah terjeratnya Menteri Agama Surya Darma Ali (SDA) dalam kasus anggaran pelaksanaan ibadah haji pada tahun 2013, yang membuat SDA mengundurkan diri dari jabatanya.

Di Provinsi Riau sendiri, mantan Gubernur Riau Rusli Zainal terjerat skandal kasus PON 2012 yang membuatnya harus menginap di hotel prodeo untuk waktu yang cukup lama. Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri juga merilis jumlah kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi hingga tahun 2013, yakni gubernur 21 orang, wakil gubernur 7 orang, bupati 156 orang, wakil bupati 46 orang, walikota 41 orang dan wakil walikota 20 orang.

Alih-alih berfungsi sebagai pengawas lembaga lain, kekuasaan yudikatif juga justru seakan tak ingin kalah dalam kasus suap. Contoh kasusnya adalah tertangkapnya Syarifudin, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima suap untuk memuluskan perkara penjualan aset PT. SkyCamping Indonesia (SCI) yang dinyatakan pailid. Hakim Syarifudin juga pernah membebaskan 39 koruptor saat menangani sidang para koruptor tersebut.

Bahkan lembaga yudikatif yang lahir berkat reformasi, yaitu Mahkamah Konstitusi, juga tak terlepas dari kasus korupsi. Mantan ketuanya Akil Mochtar tersangka akibat menerima suap terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bahkan hingga merembet kepada sengketa Pilkada Lebak, yang menyeret Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.

Melihat maraknya kasus korupsi di tiga poros kekuasaan tersebut, kita perlu mengevaluasi langkah amandemen UUD 1945. Kita juga perlu mengkaji ulang trias politika yang ditemukan bangsa Eropa dengan azas Pancasila yang dianut negara kita.

Karena pada salah satu notulen rapat BPUPKI dan PPKI pada Mei sampai dengan Juli 1945, para founding father kita telah membahas dengan rinci sistem pemerintahan apa yang cocok bagi Indonesia. Dan pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Soekarno dan M. Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka, bahwa trias politika ala Montesquieu bukanlah sistem pembagian yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Soekarno dalam sidang tersebut juga mengatakan trias politika itu sudah kolot dan tidak dipakai lagi di Eropa barat.

Para founding father kita lebih memilih untuk tidak menerapkan trias politika Montesquieu dan menjadikan MPR lembaga tertinggi yang memegang kedaulatan rakyat di atas lembaga-lembaga lain. Tentu itu dengan petimbangan yang sangat matang. Dan di usia reformasi yang ke-16 tahun, sudah sewajarnya kita melakukan evaluasi terhadap reformasi dari segala bidang.

Penulis adalah Wakabid Organisasi Gmni Pekanbaru/Mahasiswa UIN Suska Riau.