Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Analisis Berita

Membantah 'Jokowi Effect' adalah 'Kampanye Hitam'
Oleh : Redaksi
Jum'at | 11-04-2014 | 10:26 WIB

Oleh: Sihol Manullang

BANYAK pengamat berpendapat, tak ada 'Jokowi Effect', membuat perolehan suara PDI Perjuangan tidak melewati 30%. Apakah penilaian mereka jujur?

Pertanyaan kita, apakah pernyataan tersebut sekaligus sebagai ''kampanye hitam terselubung" untuk menghadang Jokowi dalam Pilpres? Artinya, tim capres yang khawatir dikalahkan Jokowi, sudah langsung masuk ke etape ke dua, yaitu memberi komentar atas Pileg sekaligus merintis serangan terhadap Jokowi untuk Pilpres.

Dugaan seperti ditulis dalam paragraf di atas, layak kita lontarkan, karena kualitas pengamat kita masih seperti yang dulu disebut Gus Dur sebagai "intelektual tukang." Hal itu sudah terbukti dari sejumlah survei abal-abal yang hasilnya berbeda dengan kebanyakan survei dan hasil Pileg barusan.

Intelektual sebagai tukang (merekayasa opini), bukan hanya dipertontonkan lembaga survei abal-abal, juga lembaga survei besar. Mereka membuat survei, yang hasilnya sudah lebih dahulu disiapkan. Kata-kata survei, hanya alat justifikasi.

Pementasan "lembaga survei abal-abal" secara kolosal adalah saat Pilkada DKI Jakarta, semua meramalkan kemenangan Foke-Nara. Tetapi rakyat menunjukkan lain. Kalaulah survei laksana ludruk (di mana penonton bisa ikut bermain), rakyat maju ke pentas lalu menunjukkan posisi sesungguhnya.

Jadi masyarakat tidak bisa ditipu. Para intelektual bayaran tak bisa bersembunyi dalam selubung kepalsuan. Masyarakat boleh jadi tidak tahu kalau mereka pura-pura pintar, namun masyarakat selalu tahu ketika mereka pura-pura bodoh.

'Bukti pura-pura bodoh'
Ada dua bukti valid betapa sesungguhnya para pengamat yang mengatakan bahwa 'Jokowi Effect' memang tidak ada, adalah selubung kepalsuan.

Pertama, letika membuat pernyataan tidak ada 'Jokowi Effect', sesungguhnya adalah produk dari 'Jokowi Effect' itu sendiri. Tak diperlukan logika rumit untuk memahami hal ini.

Kedua, mereka menyamakan elektabilitas Jokowi dengan PDI Perjuangan. Keduanya memang berbanding lurus, walau formulasinya tidak bisa dibuat sebagai rumus matematika. Banyak faktor X.

Sebetulnya, sangat mudah dipahami, elektabilitas Jokowi dan PDI-P adalah dua angka yang berbeda. Namun, sengaja (pura-pura) tidak membedakannya, hanya sebagai upaya menghilangkan 'Jokowi Effect' -- sesuatu yang bagi sebagian orang adalah berbahaya (dalam Pilpres nanti).

Stan Greenberg, konsultan politik Bill Clinton dan sejumlah politisi dunia, menghitung elektabilitas Jokowi sebesar 68%. Sedangkan elektabilitas PDI-P, 28%. Dua angka yang berbeda, dengan kriteria penilaian yang berbeda pula.

'Mengadili para pengamat'
Saatnya rakyat mengadili para pengamat, menyeret mereka ke mahkamah intelektual. Jaksa adalah lembaga survei yang netral, hakim adalah rakyat. Rakyat harus memberi keadilan kepada mereka.

Jika hukuman yang sudah diberikan saat Pilkada DKI Jakarta ternyata belum cukup, saatnya hukuman kedua. Mata mereka harus dibuka, agar tiba di "rumah" 'academic honesty' (kejujuran akademis).

Kita jangan mengulangi serangan Amien Rais kepada Jokowi, yang menyamakan Estrada dengan Jokowi, terpilih karena populer. Seperti yang dikatakan Boni Hargens, Amien Rais pura-pura tidak tahu, populer adalah dikenal publik (Estrada), sedangkan Jokowi adalah populis (kerayakatan). Dua makna berbeda sengaja disamarkan menjadi sesuatu yang sama. Populer dari bahasa Inggris, populis dari bahasa Latin.

Jangan biarkan membantah Jokowi Effect sebagai skenario etape kedua: kampanye hitam.

Percayalah, praktik demikian akan gagal. Mari kita ingat kata-kata Pramudya Ananta Toer: Sungai menghancurkan dan membentuk tebing-tebingnya sendiri. Rakyat berdaulat membangun jalan perubahan sendiri.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Baranews.co, wartawan Suara Pembaruan (1986-2000).