Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspadai Kekeringan dan Banjir Akibat Perubahan Iklim
Oleh : Redaksi
Kamis | 26-12-2013 | 09:44 WIB

BATAMTODAY.COM, Berlin - Bukan rahasia lagi jika sumber daya air semakin menyusut setiap tahun. Pertumbuhan jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan bahan makanan dan air adalah penyebabnya. Perubahan iklim juga ikut berperan menguapkan sumber mata air.

Ilmuwan di Potsdamer Instut untuk Penelitian Dampak Perubahan Iklim mengungkap berapa jumlah air yang menghilang akibat dampak perubahan iklim. Para peneliti menggunakan data dari lima simulasi iklim dan sebelas simulasi hidrologi global untuk mengukur dampak pemanasan global dengan lebih akurat.

Sasaran penelitian adalah menemukan metode baru untuk mencegah kelangkaan air. "Dalam skenario masa depan kita harus mengetahui seberapa besar peran perubahan iklim," kata Jacob Schewe, salah seorang peneliti.

Yang terpenting adalah mengetahui dampak perubahan iklim pada cadangan air dunia. Karena para ilmuwan yakin, manusia masih bisa menghentikan laju pemanasan global.

"Dari sudut ilmu pengetahuan alam, perubahan iklim masih bisa dihentikan," kata Schewe. "Kalau kita menjalankan program perlindungan iklim besar-besaran dalam beberapa dekade ke depan, laju pemanasan bisa dibatasi pada kisaran 1,5 derajat Celcius dan kita mampu mencegah terjadinya kelangkaan air."

Studi terbaru menunjukkan kenaikan temperatur bumi sebesar 2,7 derajat Celcius dibandingkan masa menjelang era industrialisasi. Bagi penduduk bumi, angka tersebut berarti sepersepuluh orang bakal menderita kekurangan air minum di akhir abad ini.

Ilmuwan mendefinisikan kelangkaan air sebagai tingkat konsumsi sebesar 500 meter kubik air per tahun untuk setiap orang. Saat ini kebutuhan air diperkirakan rata-rata 1.200 meter kubik per tahun. Tingkat konsumsi air per orang di negara-negara industri maju jelas jauh lebih tinggi ketimbang penduduk di negara berkembang.

Sebagai upaya mencegah kelangkaan air, ilmuwan mendesak agar sektor pertanian dan peternakan mencari metode baru. Terlebih para petani bakal lebih sering menghadapi kemarau atau hujan dan badai yang meluapkan sungai. Ancaman tersebut menggandakan risiko terjadinya bencana kelaparan di negara-negara miskin.

Bagi pakar pertanian Jerman, Rudolf Herren, adaptasi di sektor pertanian tidak bisa direalisasikan cuma dengan mengandalkan investasi teknologi. "Solusi teknis untuk menghemat air di sektor pertanian cuma akan memainkan peran kecil dalam 50 tahun ke depan. Ongkosnya terlalu tinggi," katanya.

Sektor pertanian bakal menghadapi dua dampak perubahan iklim di masa depan, kata Herren, yakni kekeringan dan banjir. Menurutnya kedua bencana tersebut cuma bisa diatasi dengan sistem pertanian biologis, "dengan begitu kita bisa memperbesar kapasitas tanah untuk menampung air dan memperkaya kandungannya untuk lalu digunakan pada tanaman."

Pertanian ekologis selain itu bisa menghadang penyebaran penyakit dan hama tanpa penggunaan zat-zat pestisida. Hama diyakini bakal kesulitan menetap jika petani merotasi dan memperkaya keragaman tanaman di lahannya. Monokultur, menurut Herren, justru berfungsi seperti jalan bebas hambatan buat hama dan penyakit.

Betapapun upaya petani, konsumen juga harus membiasakan diri terhadap jenis makanan yang berbeda. Salah satunya adalah mengurangi konsumsi daging. Selain itu tanaman juga harus disesuaikan dengan kondisi geografis.

Jagung yang membutuhkan air dalam jumlah besar misalnya tidak bisa ditanam di kawasan kering. Sebaliknya petani di kawasan tersebut bisa membudidayakan milet yang sangat hemat air. Dengan begitu keamanan pangan untuk penduduk dunia yang berjumlah sembilan miliar bisa terus dipertahankan.

"Kita saat ini pun sudah memproduksi makanan yang cukup untuk 14 miliar manusia. Jadi kita tidak membutuhkan kapasitas produksi yang lebih besar, melainkan kualitas dan keragaman. Terutama kita harus memilih lokasi produksi yang dekat dengan konsumen," kata Herren, agar tidak menimbulkan emisi gas buang tambahan akibat aktivitas distribusi bahan makanan. (*)

Sumber: Deutsche Welle