Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Nah, Terima Amplop dari Pengantin Penghulu Wajib Lapor
Oleh : Redaksi
Rabu | 18-12-2013 | 15:54 WIB
penghulu.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Mohammad Jasin, menegaskan tidak ada batasan minimal yang diperbolehkan penghulu menerima pemberian di luar biaya nikah resmi. Penghulu wajib melapor bila menerima amplop dari pengantin maupun keluarga pengantin.

Menurut Jasin, penghulu yang menerima honor di luar biaya yang telah ditentukan termasuk menerima gratifikasi. Hal itu sudah diatur dalam pasal 12B Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

"Jadi, setiap penerimaan oleh penyelenggara pegawai negeri dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan tugas dan kewajibannya," ujar Jasin, Rabu (18/12/2013).

Mantan Wakil Ketua KPK itu menjelaskan, penghulu yang menerima honor di luar biaya resmi harus segera dilaporkan sesuai dengan aturan. Mengenai sistem pelaporannya, Kemenag akan melakukan koordinasi dengan membuat unit pengendalian gratifikasi.

"Jadi bisa saja dikumpulkan, tidak person ke person yang melaporkan tapi pengendali gratifikasi akan melaporkan ke KPK setelah mengakumulasikan para KUA atau P3N yang melaksanakan nikah itu," katanya.

Sementara terkait biaya pencatatan nikah yang nantinya menggunakan APBN, Jasin menyatakan bahwa hal itu sedang dibahas. Jasin mengaku nantinya ada kemungkinan multitarif dalam pencatatan nikah. "Tidak menutup kemungkinan orang miskin dibebaskan dari biaya nikah," katanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri menilai bahwa semua penerimaan honor di luar biaya resmi dari praktik pelaksanaan nikah termasuk gratifikasi.

"Praktik penerimaan honor, tanda terima kasih, pengganti uang transport atau istilah sejenisnya, terkait catatan nikah merupakan gratifikasi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Nomor 31 Tahun 1999," ujar Direktur Pengendalian Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono.

Pernyataan tersebut, menurut Giri merupakan hasil rapat koordinasi KPK dengan Kementerian Agama, Kemenko Kesra, dan Bappenas. Rapat tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti kasus dijebloskannya Kepala KUA Kecamatan Kota Kediri, Kamis pekan lalu ke penjara lantaran diduga menerima kelebihan biaya nikah.

Giri menuturkan, persoalan yang terjadi di Jawa Timur itu harus dibenahi dari segi sistem karena berkaitan dengan sistem. Pendekatan yang dilakukannya pun harus sistemik. "Akan diatur mekanisme kemudian," imbuhnya.

Menurut Giri, penerimaan gratifikasi oleh para penghulu, disebabkan oleh beberapa kondisi, salah satunya keterbatasan anggaran di KUA. Anggaran operasional untuk setiap KUA hanya kurang lebih Rp 2 juta setiap bulan. Dana tersebut dipandang tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi petugas pencatat nikah.

Selain itu, hanya sebagian kecil KUA yang mempunyai kendaraan dinas bagi para petugasnya, dipandang juga menjadi penyebab terbukanya kemungkinan praktik gratifikasi.

"Rapat menyepakati, biaya operasional pencatatan nikah di luar kantor dan atau di luar jam kerja, dibebankan pada APBN. Artinya tidak boleh menerima lagi dari pihak yang menikahkan kecuali yang resmi," ujarnya.

Selain itu, Giri memandang perlu diubahnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 beserta peraturan yang terkait paling lambat bulan Januari 2014. Selama menunggu terbitnya peraturan pemerintah yang baru, Kemenag akan mengeluarkan surat edaran tentang pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku. (*)

Sumber: VivaNews