Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rizal Ramli Ungkap Utang Swasta Mengancam Capres 2014
Oleh : Surya
Selasa | 26-11-2013 | 18:45 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Umum Kadin Indonesia Rizal Ramli menengarai besarnya utang swasta yang akan jatuh tempo pembayarannya pada Desember 2013 mendatang, sudah masuk pada kategori 'lampu kuning'. Jika utang swasta tersebut tidak segera ditangani pemerintah, maka bisa mengancam keberlangsungan nasib salah satu Capres 2014.

Namun, Rizal Ramli tidak bersedia menyebut siapa capres dimaksud, karena menyangkut tokoh dan perusahaan, kalau disebut akan merontokkan nama perusahaan tersebut.

"Untuk utang luar negeri swasta (ULN) tentang perusahaannya apa dan miliki siapa tidak perlu disebutkan, karena akan merontokkan perusahaan tersebut, bisa bangkrut, dan mengancam pencapresannya di Pemilu 2014. Karena itu, pemerintah harus segera menangani mengingat ULN swasta itu lebih besar dibanding utang pemerintah," tandas Rizal Ramli di Jakarta, Selasa (26/11/2013).

Besarnya ULN swasta tersebut, menurut Rizal, akibat terjadi empat defisit antara lain, defisit perdagangan minus 6 miliar dollar AS, defisit transaksi berjalan yang minus 9 miliar dollar AS, dan defisit anggaran minus 1,5 miliar dollar AS.

"Dan, yang jatuh tempo sampai Desember 2013 ini mencapai 27 miliar dollar AS, dan itu akan terus memperlemah rupiah. Kalau sampai Rp 14.000 maka banyak perusahaan besar terancam kolaps. Kalau yang besar kolaps, maka yang kecil pasti ikut kolaps," ujarnya.

Pengusaha Setiawan Djody yang juga hadir berharap agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berani melakukan langkah-langkah kepemimpinan dengan tegas, karena ULN swasta itu kalau tak dibenahi, perekonomian negara ini bisa menjadi 'lampu merah'.

"Saya mendukung pemerintahan SBY, tapi hanya menghimbau agar memimpin dengan langkah-langkah yang tegas," tuturnya.

Personil Kantata Takwa ini sangat menyayangkan sikap pemerintah yang terus mengguyur utang swasta untuk pembangunan property mencapai Rp 450 triliun.

"Itu jelas timpang, dan tidak adil dengan pembangunan industri yang laiin seperti agro industri, otomotif dan lainnya, yang kurang mendapat perhatian pemerintah," ungkapnya.

Guna menekan ULN, menurut Rizal, pemerintah dan BI harus mampu mengelola devisa dengan efektif dan efisien. Yaitu dengan mengendapkan devisa hasil ekspor untuk beberapa waktu tertentu.

“Ini akan sangat membantu dalam mengelola nilai tukar. Devisa hasil ekspor akan menambah pasokan dolar ke dalam negeri yang berarti menaikkan cadangan devisa," kata Rizal.

Cadangan devisa Indonesia per akhir Oktober 2013 tercatat hampir US$97 miliar. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan cadangan devisa India yang pada Mei 2013 saja tercatat mencapai US$ 287,8 miliar. Bahkan dibandingkan Thailand saja Indonesia kalah.

Pada Juli 2013 Negara Gajah Putih itu memiliki cadangan devisa US$172,2 miliar. Indonesia juga masih kalah dari Malaysia yang punya cadangan devisa US$137,84 miliar.

Dalam periode dua bulan saja (Juni-Agustus), cadangan devisa Indonesia tergerus hampir US$6miliar, yaitu dari US$98,09 menjadi US$ 92,9 miliar. Diduga kuat anjloknya cadangan devisa itu karena digunakan BI untuk menopang nilai tukar rupiah yang terus melorot terhadap dolar Amerika.

Sebetulnya Indonesia sudah memiliki Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.

Namun seperti dikatakan Rizal Ramli, ketentuan yang diatur dalam PBI tersebut masih sangat longgar. Akibatnya, laju pertumbuhan ULN swasta sangat tinggi. Sebaliknya, arus masuk devisa justru sangat lambat.

Menurut Menteri Keuangan era Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, pengawasan DHE antara lain mencakup pengawasan jumlah devisa yang seharusnya masuk Indonesia.

Karenanya pemerintah dan BI harus mengawasi cara-cara pembayaran devisa ekspor, terutama berbagai modus yang dilakukan pengusaha agar tidak perlu memasukkan devisa ekspor ke Indonesia.

Longgarnya peraturan pengelolaan devisa yang ada membuat pengusaha mudah 'memarkir' DHE-nya di luar negeri. Membuka rekening di bank luar negeri tidaklah sulit, sepanjang persyaratannya bisa dipenuhi.

Begitu juga dengan mencari pihak terafiliasi di luar negeri dengan segala bentuknya, termasuk mendirikan perusahaan patungan, juga sangat mudah dilakukan.

"Ini semua terjadi karena Indonesia menganut rezim devisa bebas, bahkan bisa dikatakan paling bebas di dunia. Ironisnya, pemerintah sangat bangga dengan predikat tersebut, sehingga enggan melakukan perbaikan-perbaikan," katanya. 

Editor: Surya