Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pasir Dikeruk, Abrasi Gerogoti Pantai Pulau Karas
Oleh : Habib
Senin | 11-11-2013 | 10:55 WIB
watermarked-1459922_736693193010887_2132843852_n.jpg Honda-Batam
Air laut yang semakin "merapat" ke darat akibat pengikisan pantai Pulau Karas.

BATAMTODAY.COM, Batam - Pulau Karas di Kecamatan Galang, merupakan salah kawasan hinterland di Kota Batam. Enam tahun lalu, pulau ini punya pantai yang indah -mirip dengan Pantai Trikora di Kabupaten Bintan. 

Kini, hamparan pantai yang indah itu terancam musnah karena aktivitas pengerukan pasir dan batu-batu karang di sana. Bukan oleh siapa-siapa, tetapi pengerukan pasir itu dilakukan oleh warga Pulau Karas sendiri.

Tuntutan hidup memang sulit dihindari. Profesi nelayan pun seperti tak menjanjikan. Pasir pantai pun dikeruk untuk dijadikan batako, untuk membangun rumah di sana. Harga batako dijual Rp4.000 per keping. Rumah warga yang dulunya masih tradisional berganti rupa menjadi rumah beton.

Warga Karas telah banyak yang beralih profesi menjadi pengrajin Batako mengingat kebutuhan batako meningkat di sana. Apalagi, proyek-proyek pemerintah juga mengucur ke pulau tersebut.

Sejak 2012, abrasi pantai Pulau Karas semakin parah.Pasir pantai yang terus-menerus di keruk mengikis "pertahanan" pulau itu dari gempuran ombak. Pantai yang dulunya landai sudah tak terlihat. Jarak antara jalan desa dan air laut yang dulunya cukup jauh, kini sudah mulai merapat. Pantai Pulau Karas rentan terhadap hantaman ombak.

Warga setempat memang mengaku pernah diimbau oleh pemerintah agar tidak mengeruk pasir di pantai. Namun, karena kebutuhan, imbauan itu tak digubris. Spanduk dari pemerintah yang berisi larangan mengeruk pasir di pantai juga lesap.

Yang mengejutkan, proyek pembuatan drainase di kawasan Kampung Tanjungmarau, Desa Karas, bukan cuma mengeruk pasir, namun juga menggunakan karang di laut sebagai pengganti batu granit.

Pekerja yang mengerjakan proyek tersebut mengaku, hal itu dilakukan karena sulitnya mengangkut material dari Batam ke Pulau Karas dalam jumlah yang banyak. 

"Tranporatsi susah. Kalau gunakan pompong harus berpuluh-puluh kali angkat untuk membawa pasir dan batu ke sini. Jadi, karena pasir dan karang ada, kami gunakan yang ada saja. Lebih irit di ongkos dan lebih kuat," ujar pekerja yang juga warga Desa Karas itu santai.

Dia malah mengaku tak tahu adanya larangan pengambilan bahan baku dari laut. Menurut pekerja itu, pasir dikeruk dari pantai yang masih dalam kawasan tanah milik seorang warga yang masih bertalian keluarga dengannya. 

Sedangkan mengenai karang, masyarakat dibebaskan untuk mengambil, yang penting rajin mencarinya di laut. 


Pasir dan Karang Dijual

Selain digunakan untuk kebutuhan lokal, pasir pantai di Desa Karas diduga diperjualbelikan. Terutama pasir di pantai yang diklaim sebagai bagian dari lahan pemilik tanah, meski cuma bermodal alashak.

Warga yang tak memiliki "kavling" tanah pantai, membeli pasir dari si pemilik tanah. Pasir dan karang yang diperjualbelikan itu pun sesuai harga pasaran. Satu meter persegi pasir (setara dengan 35 karung beras ukuran 25 kg) dibanderol Rp120 ribu. Sementara harga karang untuk ukuran yang sama dijual dengan harga Rp150 ribu.

"Kami jual pasir tidak ke semua orang, siapa yang mau kami jual. Harganya sama saja di semua penjual, Rp120 ribu sekubik pasir dan Rp150 ribu untuk sekubik batu,” tutur seorang pemilik tanah kepada BATAMTODAY.COM.


Lurah Angkat Tangan

Lurah Karas, Ute Rambe, membenarkan aktivitas pengerukan pasir pantai yang dilakukan warganya, terlebih oleh pemilik tanah. Bahkan diakuinya juga, aktivitas itu hampir saban hari dilakukan.

Tapi, Ute mengaku tak mampu berbuat banyak. Menurut dia, warga hanya mencari sesuap nasi dari hasil penjualan batako yang dibuatnya dari pasir pantai tersebut.

"Namanya kita di pulau ini, kadang-kadang pengharapan warga kita ini ada dari batako. Saya tidak bisa pungkiri masyarakat kita memang sering mengeruk pasir pantai. Padahal itu tidak boleh karena akan menyebabkan abrasi pantai. Kita juga tidak bisa terlalu keras melarang karena kita mengedepankan asas kekeluargaan," ujar Ute.

Meski demikian, Ute mengatakan, pada tahun 2014 mendatang akan dibangun batu miring di sepanjang pantai desa tersebut untuk mengantisipasi terjadinya abrasi. 

Hanya saja, Ute tak berani menjamin jika proyek tersebut tidak akan menggunakan pasir pantai Karas. Cuma, katanya, dia akan mengusahakan agar proyek tersebut tak memanfaatkan pasir pantai. 


Ancaman dari Proyek Jalan Lingkar

Ancaman terhadap kelestarian pantai Pulau Karas makin bertambah. Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani, telah menjanjikan akan membangun jalan lingkar (semenisasi) di pulau tersebut sejauh 8 km pada 2014, saat berkunjung ke Pulau Karas, beberapa waktu lalu. 

Proyek jalan semen itu dipastikan akan mengeruk ratusan kubik pasir pantai Pulau Karas. "Pak Sani saat berkunjung ke sini (Karas, red) berjanji di tahun 2014 nanti akan membangun jalan semen yang melingkari pulau. Materialnya mungkin akan menggunakan yang ada di sini (pulau) karena jika membeli di Batam akan merepotkan," kata Selamat, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Karas, saat ditemui di rumahnya di Kampung Langkang.

"Kita sangat berharap sekali jalan itu jadi dibangun. Saya pikir tidak masalah menggunakan pasir pantai," imbuh dia. (*)

Editor: Roel