Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bank HSBC Dituding Punya Andil dalam Deforestasi dan Kepunahan Orangutan
Oleh : Redaksi
Sabtu | 09-11-2013 | 12:00 WIB

BATAMTODAY.COM, London - Bank Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) diduga terlibat dalam pengrusakan hutan hujan tropis di Asia Tenggara dan pemusnahan orangutan serta spesies langka lainnya. Kontribusi raksasa perbankan yang bermarkas di London atas pengrusakan konservasi itu terkait dengan pendanaan yang diberikan bagi pengusaha kelapa sawit.


Sebuah laporan yang berjudul "Banking on Extinction" yang diterbitkan Environmental Investigation Agency (EIA), badan investigasi lingukngan yang berbasis di London, Kamis kemarin, memaparkan,  meskipun mengadopsi kebijakan pembiayaan untuk menjaga dari deforestasi, bank Inggris itu tetap menjadi pemodal terkemuka bagi industri kelapa sawit -dan memberikan pinjaman bernilai ratusan juta dolar untuk beberapa elemen terburuk.

HSBC telah memberikan jasa keuangan kepada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya mendorong deforestasi destruktif yang mengancam eksistensi orangutan dan spesies langka lainnya. Bank tersebut juga dinilai melanggar kebijakan bank sendiri pada pelestarian hutan.

Pinjaman tersebut termasuk bantuan finansial senilai 200 juta dolar AS kepada Bumitama Agri, sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Ketapang, Kalimantan Barat, dan mengakibatkan sejumlah orangutan harus diselamatkan setelah habitat mereka dibuldoser oleh perusahaan ini. Empat individu orangutan yang berhasil diselamatkan bahkan nyaris tewas setelah mengalami kelaparan dan dua individu lainnya hilang.

Dalam kasus lainnya, HSBC juga dituding telah memberikan bantuan senilai 470 juta dolar AS kepada Triputra Agro yang diduga telah membabat hutan di kawasan Lamandau, yang menjadi rumah bagi sejumlah owa dan spesies-spesies terancam lainnya. 

Ironisnya, HSBC sendiri memiliki komitmen internal dalam perusahaan mereka untuk tidak memberikan pinjaman kepada aktivitas yang terkait dengan penghancuran wilayah-wilayah yang bernilai konservasi tinggi.

"Sebanyak 60 juta pelanggan HSBC di seluruh dunia akan terkejut dan ngeri bahwa bank besar yang terpercaya dan memiliki merek berkelas justru mendapatkan keuntungan dari deforestasi besar besaran. Bahkan ketika bank ini memproyeksikan citra publik yang sehat," kata Juru Bicara EIA, Jago Wadley, seperti dilansir dari laman resmi EIA.

Pada kasus yang lebih spesifik, "Banking on Extinction" menunjukkan bahwa ketergantungan HSBC pada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai indikator kepatuhan pihak ketiga dengan kebijakan keberlanjutan sendiri adalah fundamental yang sesat.

"Berdasarkan pengalaman kami, RSPO tidak memiliki mekanisme yang kredibel untuk memastikan anggotanya melindungi Nilai Konservasi Tinggi (HCV) hutan dan bahkan ketika pelanggaran semacam itu dibandingkan kepada langkah-langkah yang tidak cukup baik untuk mengimbangi kerusakan atau berfungsi sebagai disinsentif," kata Wadley.

Laporan ini juga menyebutkan bahwa HSBC telah melanggar komitmen ‘green‘ mereka dengan menempatkan orangutan dan sejumlah spesies lainnya dalam bahaya.

Namun, laporan tersebut disanggah pihak HSBC. "Kami adalah salah satu bank yang memperkenalkan kebijakan kehutanan, di mana dinyatakan bahwa kami tidak akan mendanai alih fungsi hutan dengan nilai konservasi tinggi untuk perkebunan," ungkap perwakilan perusahaan tersebut yang tidak disebutkan identitasnya, seperti dilansir Mongabay dari IBTimes UK.

"Dalam kasus kelapa sawit kami memiliki preferensi terhadap klien-klien yang melakukan sertifikasi dibawah skema RSPO."

RSPO merupakan lembaga yang mengatur proses produksi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di dunia agar melakukan produksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip ramah lingkungan dimana HSBC menjadi salah satu anggota Dewan Eksekutifnya. 

Sementara, RSPO sendiri kini banyak menerima protes dari lembaga-lembaga konservasi lingkungan karena dianggap tidak bergigi dan diilai sebagai sekedar upaya ‘greenwash’ atau pencitraan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di dunia agar dinilai ramah lingkungan.

"HSBC memang telah mengadopsi prinsip-prinsip ramah lingkungan, namun mereka menyerahkan tanggung jawab pelaksanaannya kepada pihak lain. Terlalu mudah bagi mereka untuk menyerahkan tanggung jawab kepada RSPO. Yang menjadi kekhawatiran kami adalah ini merupakan industri dimana mereka hanya berupaya memastikan bahwa produksi kelapa sawit terus berjalan," ungkap Paul Newman dari EIA.

Tak terima dinilai sebagai macan ompong, pihak RSPO pun menyanggah melalui juru bicara mereka. "Keanggotaan dan sertifikasi tidak sekadar komitmen kepada publik, namun hal ini dibuktikan dengan proses audit tahunan secara independen, serta serifikasi pihak ketiga terhadap prinsip-prinsip dan kriteris yang dietapkan RSPO. Setiap anggota yang tidak patuh terhadap peraturan ini  akan menerima konsekuensi  penilaian dari publik dan tekanan publik." (*)

Editor: Dodo