Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gawat, Bakteri Semakin Resistan Terhadap Antibiotika
Oleh : Redaksi
Senin | 28-10-2013 | 10:11 WIB
antibiotic-resistant-bacteria-artwork-david-mack.jpg Honda-Batam
Foto ilustrasi.

BATAMTODAY.COM, Stockholm - Beberapa bakteri melawan, ketika ada usaha memberantasnya dengan antibiotika. Bakteri-bakteri ini mengembangkan resistensi - menangkis obat. Para ahli membahasnya.

Antibiotika yang efektif menangkal bakteri patogen adalah dasar dari obat modern. Jika mereka kehilangan kemanjurannya, maka luka infeksi atau penyakit -seperti pneumonia, demam berdarah dan sifilis- menjadi kembali berbahaya seperti sebelumnya.

Otto Cars, Profesor penyakit menular Universitas Uppsala, Swedia, mengatakan, "Kita juga kehilangan kemungkinan untuk melakukan perawatan yang saat ini menjadi metode standar. Transplantasi, penggantian sendi pinggul atau kemoterapi untuk kanker hanya akan bekerja jika kita dapat melindungi pasien dari infeksi. Masalah ini jauh lebih besar daripada yang kita dipahami sebelumnya."

Setiap kali antibiotika digunakan, terjadi perubahan pula pada bakteri -mereka mengembangkan resistensi, melawan obat. Semakin banyak antibiotika digunakan, semakin banyak resistensi yang muncul. 

Keterkaitan ini dikenal sejak tahun 1940-an, tapi sekian lama tidak dianggap serius. Organisasi Kesehatan Dunia WHO pada tahun 2000 telah memperingatkan bahwa resistensi antibiotik dapat menjadi "bencana kesehatan di kemudian hari." Dan menyajikan strategi global untuk mengatasinya.

Namun demikian infeksi telah menjadi masalah serius bagi kesehatan global. Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat memperkirakan bahwa setiap tahunnya sekitar 23.000 orang meninggal dunia di AS akibat infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika.


Resistensi Antibiotik Mengancam Kesehatan Global

Upaya perawatan kesehatan seperti tengah dipertaruhkan, kata Otto Cars. Sebagai kepala jaringan global ReAct, ia mencoba mengkoordinasikan kegiatan penelitian, kebijakan, kedokteran dan pembangunan masyarakat madani untuk menghadapi resistensi antibiotika dan mengorganisir kerja sama.

Di lembaga-lembaga penelitian sekarang memang banyak pengetahuan tentang patogen, antibiotika dan pengembangan resistensinya. Tapi konsekuensi praktisnya belum berjalan.

Meskipun para ahli infeksi misalnya selama bertahun-tahun memperingatkan pemekaian antibiotika secara berlebihan, pemberian antibiotika secara massal tetap digunakan di peternakan untuk mencegah penyakit atau meningkatkan pertumbuhan hewan.

Sementara pemberian antibiotika yang tidak tepat pada manusia -yang memicu munculnya resistensi- terjadi dengan salah satu alasan utama bahwa obat yang diberikan terlalu ringan.

"Di Cina, misalnya, anak-anak yang hanya flu ringan diobati dengan antibiotika," kata Cars. "Konsumsi tahunannya bsia mencapai 138 gram per orang. Di Swedia malah tujuh gram! Ini berlebihan!"


Diagnosa yang Lebih Baik Harus Dieksplorasi

Di negara-negara anggota Uni Eropa ada aturan yang menetapkan antibiotika hanya bisa diperoleh lewat resep. Tapi banyak antibiotika yang dijual bebas di apotek di Yunani atau Italia, misalnya.

Kasusnya di Amerika Serikat -menurut perkiraan Pusat Pengendalian Penyakit- setengah dari antibiotika yang diresepkan ternyata tidak diperlukan atau salah resep. Munculnya resistensi obat terutama terdorong oleh hal-hal semacam ini.

"Jika dokter salah diagnosa maka, pasien menerima antibiotika yang tidak membantu dia." 

Oleh sebab itu menurut Cars, diperlukan cara untuk memajukan penelitian tentang metode diagnosa, agar lebih cepat dan tepat dalam menentukan sifat yang tepat dari patogen.

Memakan waktu dua sampai tiga hari untuk dapat memperoleh hasil laboratorium. Tapi bagi banyak pasien, durasi itu terlalu lama, apalagi bagi pasien yang menginginkan bantuan cepat dari gejala sakit mereka.

Meskipun ada alat penguji yang menganalisia genom patogen dan memberikan hasilnya dalam kurun waktu jauh lebih singkat, ongkosnya masih terlalu mahal dan karenanya nyaris tidak digunakan oleh dokter umum.

Sumber: Deustche Welle