Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perusahaan Sawit Raksasa Asal Singapura Dituding Punya Andil Babat Hutan Indonesia
Oleh : Redaksi
Kamis | 24-10-2013 | 09:01 WIB
wg2222-20131020-Wilmar-Aerial05.jpg Honda-Batam
Kebun sawit milik PT Agrindo Indah Persada, anak usaha Wilmar di Jambi, membuka kebun sawit di lereng yang masuk HCV. (Kredit foto: Greenpeace)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Sejumlah merek ternama memiliki andil dalam perusakan hutan di Indonesia hingga mendorong kepunahan harimau sumatera. Greenpeace, dalam laporannya berjudul "Izin untuk Memusnahkan" (Licende to Kill), yang dirilis di Jakarta, Selasa, memaparkan, Procter & Gamble (P&G), Oreo, dan Gillette, merupakan konsumen dari produsen sawit raksasa asal Singapura, PT Wilmar Internasional, yang banyak membeli sawit-sawit dari sumber-sumber "tak steril" alias hasil dari membabat hutan.

Wilmar adalah perusahaan pemroses minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan menguasai lebih dari sepertiga pangsa pasar pemrosesan kelapa sawit global dan dengan jaringan distribusi mencapai lebih dari 50 negara.


Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace Internasional, mengatakan, sebagai pemain besar, Wilmar memiliki kekuatan mengubah industri. "Sebelum perusahaan ini berkomitmen kebijakan nol deforestasi, perdagangan minyak sawit mereka dengan merek rumah tangga besar seperti P&G, Mondelez, dan Reckitt Benckiser, tanpa disadari membuat konsumen mendorong kepunahan harimau sumatera di Indonesia," kata Bustar, yang dikutip dari laman Mongabay.

Wilmar sudah memiliki kebijakan melestarikan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) dan lahan gambut di konsesi mereka. Namun, konsesi itu hanya memasok kurang dari empat persen total minyak sawit. Sisanya, dari pemasok.

Parahnya, Wilmar tak mewajibkan kebijakan lingkungan dan sosial dari para pemasok yang menjual tandan buah segar sawit atau minyak sawit mentah. Dua pemasok mereka, Ganda  Group dan Surya Dumai (First Resources), terlibat dengan kebakaran di Riau yang terjadi tahun ini.

Sementara pemasok lain, Bumitama, menebang habis habitat orangutan di dua wilayah berbeda di Kalimantan dan siap membuka hutan di konsesi baru mereka di Taman Nasional Tanjung Puting.

Wilmar juga dikaitkan dengan perdagangan perkebunan ilegal di Taman Nasional Tesso Nillo. Greenpeace mendokumentasikan perkebunan sawit ilegal di dalam kawasan Tesso Nilo, dengan hasil panen masuk ke pabrik Wilmar. 

Greenpeace mengaku memiliki bukti perdagangan Wilmar dari perusahaan dengan kegiatan antara lain pembukaan ilegal, kebakaran di lahan gambut, dan pembukaan habitat harimau ini.

Bukan itu saja. Di Kabupaten Merangin, Jambi, anak usaha Wilmar, PT Agrindo Indah Persada (PT AIP), memegang izin konsesi seluas 1.280 hektar. Penanaman 500 hektar dan kawasan masuk HCV  sekitar 417 hektar, baik karena keragaman hayati tinggi, jasa lingkungan penting, maupun wilayah-wilayah kritis, guna mempertahankan budaya masyarakat lokal.

Dari investigasi Greenpeace, pada 2009 hutan konsesi menutupi sekitar 10 persen atau 124 hektar. Tahun 2013, hanya tersisa kurang dari 20 hektar wilayah yang berhutan, sepertiga atau 35 hektar pembukaan wilayah HCV. 

Greenpeace juga mendokumentasikan pembukaan jalan dan perkebunan berada pada lereng curam yang masuk kategori HCV. Di sana, tampak pohon-pohon tumbang karena erosi.

Wirendro Sumargo, Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, deforestasi di kawasan ini dari 2009-2013, terjadi pada habitat harimau. Bahkan, dari wawancara Greenpeace dengan warga sekitar, sempat melihat harimau dan anaknya di dekat konsesi AIP.

Kiki Taufik, Kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia, mengatakan, sawit merupakan pemicu terbesar deforestasi di Indonesia, atau sekitar 300 ribu hektar hutan hilang, sama dengan 15 persen kehilangan habitat harimau karena sawit. 

"Dari riset beberapa tulisan ilmiah banyak fakta mengungkapkan dengan harimau sumatera berkurang, menandakan kehilangan hutan dan lahan gambut yang memicu stabilitas iklim di Indonesia."

Hutan Sumatera terbabat, dan habitat harimau sumatera, spesies satu-satunya yang tersisa di Indonesia, juga terancam. Saat ini, harimau sumatera masuk dalam katagori terancam punah secara kritis dalam daftar spesies terancam punah IUCN. Hanya sekitar 400 ekor harimau sumatera yang hidup di alam liar.

Dulu, harimau bisa ditemui di sebagian besar wilayah Sumatera. Ekspansi perkebunan dan penebangan kayu mengurangi habitat primer menyebabkan harimau terdesak. 

Pada periode 1985 dan 2011, separuh hutan alam Sumatera yang semula seluas 25 juta hektar, ditebang. Sekitar 80 persen dataran rendah merupakan habitat penting satwa tak hanya harimau, orangutan dan lain-lain.

Pada 2009-2011, sekitar 383 ribu hektar habitat harimau musnah, tertinggi di Riau yang kehilangan 10 persen.  Dari pemetaan pun tampak habitat harimau makin terfragmentasi. "Kondisi ini meningkatkan konflik manusia dan harimau dan perburuan harimau," ujar dia.

Greenpeace pun menuntut Wilmar agar berhenti mencuci minyak sawit kotor ke pasar global, termasuk mendesak merek produk rumah tangga segera membersihkan rantai pasokan dari sumber-sumber sawit tak jelas. Dalam laporan itu, Greenpeace memberikan beberapa rekomendasi.

Sementara itu, Wilmar membantah dukungan mereka terhadap para pemasok yang terkait land clearing, maupun pembakaran hutan. Seperti dikutip dari AFP, Lim Li Chuen, juru bicara Wilmar mengatakan, perusahaan kerab me-review operasional bisnis mereka, termasuk kebijakan mengenai sumber sawit dan bekerja sama dengan ahli rantai pasokan internasional.

Dia mengatakan, perusahaan telah memperingatkan kepada semua staf bahwa kebijakan mereka memasok sawit dari sumber-sumber sah. Bagi pemasok dari sumber ilegal yang mencoba masuk harus diputus. (*)

sumber: Mongabay