Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jiang Shengfa, Guru Tanpa Lengan yang Inspirasional
Oleh : Redaksi
Senin | 21-10-2013 | 18:20 WIB
0023ae9885da13cd7d300d.jpg Honda-Batam
Jiang Shengfa, guru yang kehilangan kedua lengannya. Satu hal yang telah ia pelajari tentang kehidupan adalah untuk tidak pernah mengeluh dan selalu melihat keterbatasan fisik sebagai sesuatu yang positif dalam hidup. (Kredit foto: China Daily)

BATAMTODAY.COM, Zhaotong - Jiang Shengfa, hanyalah seorang guru di Weixin, wilayah Zhaotong, sebuah kota di timur Provinsi Yunnan. Namun siapa sangka, guru berusia 39 tahun yang bertugas di daerah pedesaan paling terpencil di Cina ini telah menginspirasi banyak guru di Cina, mungkin juga di seluruh dunia.

Jiang Shengfa, menyembunyikan rasa sakit kehilangan kedua lengannya akibat sebuah kecelakaan, dan mampu tampil memberikan inspirasi, tulis Lyu Chang dari China Daily. Bahkan, potensi Jiang Shengfa dinilai telah melampaui keterbatasannya.

Sebagai seorang ayah tunggal, Jiang berhasil mengatasi tantangan fisik yang paling menakutkan bagi semua orang. Pada suatu program pelatihan di Shanghai untuk guru pedesaan, Jiang mengatakan, satu hal yang telah ia pelajari tentang kehidupan adalah untuk tidak pernah mengeluh dan selalu melihat katerbatasan fisik sebagai seuatu yang positif dalam hidup.

"Hidupku tidak pernah mudah, tapi aku berhasil bertahan dan memiliki kehidupan yang aku nikmati. Salah satu kekuatan saya berasal dari orang-orang baik yang ada di sekitar saya: siswa, keluarga saya dan semua orang di sekitar saya," katanya kepada China Daily.

Jiang kehilangan kedua lengannya akibat tersengat tegangan tinggi ketika sedang memperbaiki kawat listrik di musim dingin tahun 1996. Namun kini dia telah berhasil mengajar dengan menggunakan kapur yang diikatkan pada sisa lengannya itu. 

Hari-hari ayah dari seorang anak yang berusia 18 tahun dikelilingi oleh murid-muridnya, yang belajar kepadanya dan belajar tentang hidup yang menginspirasi.

"Dalam hati saya, dia (Jiang Shefang) adalah orang besar. Ia menunjukkan kepada kita bagaimana untuk percaya pada diri sendiri," kata Chen Yiting, siswa kelas empat.

"Meskipun ia kehilangan tangannya, tulisan tangannya adalah yang terbaik di sekolah kami dan tulisan kaligrafinya sangat bagus," imbuh Yiting.

Jiang mengakui, hidup ini sulit. Namun, dengan melihat ke belakang, dia mengatakan telah selamat dan menjadi contoh hidup apapun yang mungkin.


Mengemis Demi Hidup

Memang, setelah insiden di tahun 1996, Jiang hampir kehilangan kemampuannya untuk bekerja dan menghabiskan seluruh tabungannya untuk biaya perawatan rumah sakit. Tragisnya, dalam kondisi yang demikian, istri Jiang malah kabur dari rumah dan meninggalkan bayi mereka yang baru lahir.

Untuk bertahan hidup, Jiang sempat mengemis di jalanan kota-kota besar seperti Guangzhou dan Chongqing, meninggalkan anaknya dengan neneknya.

Bencana berikutnya terjadi. Ibu Jiang meninggal beberapa tahun kemudian. Jiang pun harus meninggalkan anaknya dengan kakak laki-lakinya yang juga seorang guru di sekolah di desa itu. Untuk menghemat uang, Jiang terpaksa makan satu kali dalam sehari.

Kondisi mulai berubah ketika kakaknya pensiun dari sekolah, dan Jiang direkomendasikan untuk mengajar di sana untuk mengisi kekosongan tersebut. Meskipun gajinya jauh lebih kecil dari seorang guru yang berkualifikasi dan tidak menerima tunjangan kesejahteraan, dedikasinya tak perlu dipertanyakan.

Sejak itu , ia mulai belajar bagaimana menulis tanpa lengan. Diakuinya, hari-hari pertama itu dilalui dengan sulit. 

Dia tidak hanya harus berurusan dengan keterbatasan fisik, tetapi juga berjuang dengan depresi dan kesepian. Bahkan pernah berpikiran untuk bunuh diri. Namun, saat teringat dengan nasib anak kandungnya, niat itu diurungkan.

"Aku tidak bisa meninggalkan dia untuk menjadi anak yatim. Aku ingin dia bangga padaku," kata Jiang menguatkan hatinya.

Bermodal keyakinan tersebut, Jiang melalui pahit manisnya hidup. Orang-orang mulai memberikan bantuan dan dukungan.


Guru yang Tak Pernah Bolos

Setiap hari, ia harus berjalan sendirian selama 40 menit dan mendaki gunung untuk sampai ke sekolah. Jika hujan atau turun salju, itu bisa berarti bencana baginya.

Suatu hari dalam perjalanan ke sekolah di musim salju, Jiang terpeleset dan jatuh ke sebuah tepi jurang. Tanpa tangannya itu, Jiang tak mampu berdiri. Dia pun tidak bisa bergerak, sedikit saja gerakan akan mengantarkannya ke dasar jurang.

Dia hanya berbaring di salju dan menunggu untuk diselamatkan sampai seseorang warga lewat. "Saya mengatakan kepadanya agar tidak perlu datang ke sekolah jika hujan atau turun salju, tapi dia tidak pernah absen satu hari pun," kata Li Lugui, kepala sekolah.

Saat ini, impian terbesar Jiang adalah untuk membawa keterampilan mengajar canggih yang dipelajarinya di Shanghai untuk diaplikasikan di sekolahnya. Bahkan dia berkeinginan membangun sebuah kelas komputer untuk murid-muridnya.

Jiang mengatakan ia telah menerima dukungan dan bantuan dari banyak pihak setelah menerima perhatian media dalam beberapa tahun terakhir.

Tahun lalu, Baxter International Inc, sebuah perusahaan pelayanan kesehatan yang berbasis di AS, memberikan bantuan lebih dari 140.000 yuan ($23.000) untuk membeli 20 unit komputer di sekolah.

Jiang mengatakan, itu adalah kekuatan yang menakjubkan dalam hidupnya untuk percaya bahwa dia bisa melakukan perbuatan baik dan membantu siswa mewujudkan impian mereka, yang dapat membawa semua umat manusia melewati kesulitan tersebut. (*)

Editor: Dodo