Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gawat, Indonesia Tak Miliki Data Akurat Pencemaran Merkuri
Oleh : Redaksi
Senin | 07-10-2013 | 11:34 WIB

BATAMTODAY.COM, Batam - Merkuri sering dianggap sebagai racun, karena berbahaya bagi kesehatan. Namun, unsur logam yang dikenal dengan air raksa atau raksa ini sering digunakan pada berbagai aplikasi seperti amalgam gigi, sebagai fungisida, dan beberapa penggunaan industri termasuk untuk proses penambangan emas.

Hasil penelitian pakar juga membuktikan, merkuri dapat merusak sel-sel jaringan otak yang masuk ke tubuh manusia melalui pencemaran. Dari kegiatan penambangan emas, misalnya, menyebabkan tingginya konsentrasi merkuri dalam air tanah dan air permukaan pada daerah pertambangan. 


Meskipun elemen air raksa relatif tidak berbahaya, namun menjadi sangat berbahaya jika menguap dan terhirup secara langsung pada paru-paru. Meskipun memberi dampak yang mengerikan, namun ternyata Indonesia tidak memiliki data terkait jumlah merkuri dan pencemaran yang terjadi di sejumlah sungai di tanah air. 

Profesor Takanobu Inoue, dari Jurusan Arsitektur dan Teknik Sipil, Sekolah Teknik Toyohashi di Jepang, telah melakukan penelitian terkait pencemaran merkuri di sungai-sungai di Indonesia selama lebih dari satu dekade. Sumber terbesar dari racun merkuri, menurut sang profesor, berasal dari penambangan emas skala kecil yang dilakukan secara mandiri oleh penambang-penambang rakyat.

"Penambangan emas itu sangat mudah dipelajari dan dipraktikkan, terutama bagi orang-orang yang hidup di garis kemiskinan karena dianggap memberikan harapan kesejahteraan," ungkap pakar teknik pengairan ini sebagaimana dilansir laman Mongabay Indonesia.

Jika tidak ada teknologi canggih yang tersedia, penambangan emas cukup menggunakan campuran merkuri dan air untuk membersihkan bijih emas. Campuran ini kemudian dipanaskan untuk menghilangkan merkuri melalui penguapan, sementara sisa air yang mengandung merkuri biasanya langsung dibuang ke sungai.

"Sangat penting untuk mendidik orang-orang tentang dampak bahaya dari racun merkuri," ungkap Inoue. "Namun hanya sedikit peneliti lingkungan di negeri ini, dan peralatan yang mereka miliki untuk mengukur tingkat paparan racun sangat terbatas, demikian juga dengan dana dan dukungan pemerintah," ungkap Inoue.

Akibatnya, informasi kuantitatif terkait tingkat paparan racun merkuri setiap tahun seringkali tidak akurat. 

Lembaga seperti UNEP (United Nations Environment Program) memperkirakan, pada 2011 sekitar 70 ton merkuri sudah mencemari lingkungan. Namun, menurut Inoue, angka yang dikeluarkan oleh PBB ini hanya berdasar pada jumlah impor merkuri ke Indonesia, dan belum terhitung jumlah impor ilegal karena jumlah angka sebenarnya jauh lebih besar.

Profesor Inoue sudah menjelaskan temuannya dengan sejumlah profesor dari beberapa universtas di Indonesia. Dirinya meminta para akademisi ini untuk bergabung dengan Asosiasi Lingkungan Perairan Indonesia, di mana informasi bisa disebarkan dengan efektif dan kajian-kajian ilmiah tentang polusi tersedia di situ.

Untuk membantu menjelaskan kasus pencemaran air yang berat, Profesor Inoue memberikan contoh kasus dari Tragedi Minamata yang terjadi di Kota Minamata, Jepang tahun 1956. Tragedi ini disebabkan oleh pembuangan limbah yang mengandung merkuri ke Teluk Minamata oleh sebuah perusahaan setempat. 

Limbah ini kemudian bercampur dengan air yang menjadi sumber kehidupan spesies-spesies laut setempat yang seringkali dikonsumsi oleh para penduduk Kota Minamata.

"Kita membutuhkan lembaga riset untuk saling bekerja sama untuk memfasilitasi kajian yang sangat komprehensif tentang polusi merkuri di Indonesia," ungkap Inoue. 

"Kerja sama semacam ini akan memudahkan pengawasan kandungan merkuri di tambang-tambang emas dan dampak polutan lingkungan ini terhadap penduduk setempat." (*)

Sumber: Mongabay