Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jaga Ketahanan Pangan

Golkar Usulkan Sistem Tarif Impor Kebutuhan Pangan
Oleh : Surya
Selasa | 01-10-2013 | 18:34 WIB
Firman_Subagyo.jpeg Honda-Batam

Wakil Ketua Komisi IV Firman Subagyo

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan nasional, Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR RI mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sistem produksi pangan nasional dengan memberikan insentif dan disinsentif terutama dalam ekspor untuk mengurangi impor pangan , dan memberlakukan kebijakan sistem tarif dan disentif yang tepat dengan bea masuk tinggi terhadap impor produk pertanian sebagaimana dilakukan oleh Jepang, dan negara lain.


"Jepang itu membrlakukan bea masuk impor beras sekitar 800 persen, dan itu tak bertentangan dengan kebijakan oganisasi perdagangan dunia atau WTO (World Trade Organization) asalkan dengan alasan untuk kepentingan nasional (national interest)," tegas Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Firman Subagiyo pada wartawan di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (1/10/2013). Firman didampingi Airlangga Hartarto, Ade Komaruddin, Setya Novanto, Adi Putra Taher, dan Chaeruman Harahap.

Selain itu menurut Firman, perlunya dilakukan peningkatan produksi, strategi perluasan area lahan, pengamanan hasil produksi, dan strategi penguatan kelembagaan dan pembiayaan.

"Yang terpenting lagi, mendorong peran Bulog sebagai penyangga pengendali harga terhadap beras, jagung, dan kedelai untuk memberikan stimulus kepada petani agar mau menanam, karena adanya jaminan pasar dan harga yang stabil, dan memberikan insentif kepada petani, ketersediaan lahan yang cukup, dan harga pupuk yang terjangkau," ujarnya.

Dikatakan, konsumsi beras nasional yang tinggi agar mendorong upaya divirsifikasi pangan nasional. Kebutuhan beras nasional sekitar 139 Kg per kapita per tahun termasuk tertinggi di dunia. Karena itu identifikasi beras sebagai kebutuhan pokok harus ditinjau ulang, mengingat potensi pangan lainnya masih banyak seperti kentang, singkong, ikan dan sebagainya.

Untuk ketersediaan lahan pertanian kata Firman, agar terus dilakukan upaya membuka lahan baru pertanian. Berdasarkan data Kadin, luas lahan pertanian di Indonesia hanya 7,75 juta hektar (ha) dengan populasi 240 juta orang. Ini sama saja dengan ¼ dari luas lahan yang dimiliki Thailand, yang mencapai 31,84 juta ha dengan populasi 61 juta orang.

"Jika tak ada penambahan lahan pertanian baru, sementara jumlah penduduk naik 1,4 persen / tahun, dan alih fungsi lahan setiap tahunnya 110 ribu ha, maka  pada sebelum tahun 2030 Indonesia terancam kekuarangan pangan," tambahnya.

Selain itu lanjut Firman, saat ini setidaknya ada 7,3 juta ha tanah terlantar yang dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Untuk itu, FPG mendorong peningkatan anggaran untuk pembukaan lahan pertanian baru serta perlunya melakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan tentang keagrariaan.

Harus memperkuat penyediaan infrastruktur pertanian yang memadai terutama irigasi, jalan, dan sarana transportasi, karena salah satu penyebabab terganggungnya produksi pangan nasional adalah tidak memadainya infrastruktur pertanian, termasuk penurunan kualitas infrstruktur pertanian yang ada. Karena itu perlu peningkatan anggaran untuk infrastruktur khususnya irigasi dan pertanian daerah.

Airlangga Hartarto mengingatkan jika sistem kuota tak akan mampu mencapai produksi nasional, sehingga selama ini produksi pertanian mengalami stagnan. Baik beras, kedelai, kentang, daging, bawang dll.

"Sistem tarif itu lebih transparan, terbuka, dan  tak bertentangan dengan WTO," katanya.

Khusus Bulog menurut Airlangga, agar dikembalikan pada perannya untuk melakukan operasi pasar, dan diberi modal untuk menjalankan tugasnya tersebut.

"Kalau Bulog tak diberi modal, maka akan mengundang kartel lama untuk masuk. Sehingga kita tak bisa proteksi prokduksi pangan. Padahal AS melakukan proteksi terhadap 4 produk unggulannya; gandum, kedelai, jagung, dan kapas. WTO justru mendukung sistem tarif karena lebih transparan. Sedangkan sistem kuota bisa diselesaikan di bawah meja. Jadi, kita harus siap menghadapi 2015. Di mana Bulog sekarang tak bisa melakukan intervensi harga karena membeli lebih mahal dari harga petani," pungkasnya.

Editor: Surya