Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Merasa Dirugikan, APTI Tolak Pengendalian Tembakau
Oleh : Batamtoday
Jum'at | 15-10-2010 | 07:04 WIB

JAKARTA-Desakan dari Conference on Tobacco or Health di Sydney, Australia (Sabtu, 9/10) agar Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), mendapat tanggapan sejumlah kalangan di Indonesia.

 “Desakan itu sama sekali mengabaikan kepentingan para petani tembakau di Indonesia. Bagaimanapun konvensi itu langsung terkait dan mengancam kepentingan petani tembakau. Namanya saja, pengendalian atas tembakau. Yang dikendalikan itu khan kepentingan petani tembakau,” ungkap Nurtantio Wisnu Brata, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI)  Jawa Tengah.

“Jangan bilang bahwa konvensi itu tidak ada hubungannya dengan kepentingan petani tembakau. Itu hal yang tidak benar. Petani tidak bodoh. Tidak mudah dibohongi. Jangan mengeliminasi kepentingan petani tembakau yang kena dampak konvensi itu,” lanjut Wisnu yang melihat bahwa tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi  ini hanya demi kepentingan pihak-pihak tertentu dalam suksesnya agenda anti tembakau ini di kawasan Asia, termasuk di Indonesia.

Direktur Institut Indonesia Berdikari (IIB), Puthut E.A, memandang tekanan terhadap Indonesia untuk meratifikasi konvensi merupakan suatu bentuk tekanan terhadap kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka yang berhak menentukan nasib sendiri. “Negara manapun, organisasi internasional apapun, harus menghormati kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka,” tegas Puthut. Lebih jauh Puthut ungkapkan bahwa meratifikasi FCTC tersebut sama dengan mematikan kretek, rokok khas Indonesia.

Pada tahun 2009, pangsa pasar kretek di dunia hanya 3,5%. Sebagian besar (96,5%) adalah rokok non-kretek. Ekspor kretek ke Amerika Serikat dewasa sudah dilarang. Konsumsi rokok pada tahun 2009 paling besar adalah Cina (37,7%), Rusia (6,9%), Amerika Serikat (6,0%), Jepang (4.7%), dan Indonesia (3,8%). Negara-negara lain total konsumsi rokok 40,8%.  “Jadi, dengan meratifikasi konvensi ini peluang untuk matinya kretek Indonesia semakin besar,” ungkap Puthut.

“Perlu tidaknya kita meratifikasi konvensi tersebut harus dilihat dari apakah Indonesia punya kepentingan nasional dengan tembakau beserta industrinya dari hulu hingga hilir.  Faktanya, Indonesia memiliki kepentingan atas tembakau dengan segala industrinya itu,” ungkap Gabriel Mahal, advokat dan pengamat Prakarsa Bebas Tembakau.

Menurut Gabriel , kepentingan nasional atas tembakau ini harus dihadapkan dengan kepentingan di balik konvensi tersebut. “Sejarah lahirnya konvensi tersebut sarat dengan kepentingan perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) dari korporasi-korporasi farmasi multinasional. Konvensi itu adalah alat dan mekanisme hukum untuk mengontrol perdagangan tembakau di satu sisi, dan pada sisi yang lain mendukung perdagangan obat-obat NRT itu. Tidak heran jika prioritas desakan kepada pemerintah adalah mematikan commercial freedom of speech dari tembakau dan industrinya lewat larangan iklan dan promosi produk tembakau” ungkap Gabriel.

Dewasa ini Amerika Serikat termasuk salah satu negara yang mengekspor obat-obat NRT ke 9 negara Eropa, 4 negara Asia dan Australia, dan Meksiko. Para eksportir Amerika meraup keuntungan penjualan NRT ini di 15 negara, di antaranya Belgia, Spanyol, Perancis, UK, Jerman, India, Filipina. Sekalipun demikian, perdagangan obat NRT ini masih defisit. Impor obat-obat NRT ini masih lebih besar. Defisit perdagangan ini diupayakan untuk diatasi dengan memacu produksi NRT buatan Amerika yang sekaligus dapat membuka lapangan kerja bagi rakyat AS. (USA Nicorrete Sales,  http://import-export.suite101/article.cfm/usa)

Menurut Laporan World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025 (13/1/2010), diprediksikan 15 tahun ke depan pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT ini akan meningkat yang dikontribusi oleh kelompok negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan Cina). Sebab, menurut laporan tersebut, hampir separuh perokok dunia tinggal di wilayah BRIC ini, tetapi kelompok negara ini masih termasuk berpendapatan perkapita rendah. Daya beli masyarakat akan obat-obat NRT yang relatif mahal itu saat ini masih rendah.  

“Konvensi ini beserta peraturan perundang-undangan nasional pengontrolan atas  tembakau menjadi senjata ampuh yang mendukung suksesnya perdagangan produk obat-obat NRT ini, di sisi lain jadi mekanisme hukum pengontrolan, bahkan dapat mematikan tembakau dengan segala industrinya,” ungkap Gabriel. (btd/sur)