Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Harry Minta Pemerintah Ambil Langkah Cepat Perbaiki Fundamental Ekonomi
Oleh : Surya
Jum'at | 20-09-2013 | 18:34 WIB
harryazhar.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Partai Golkar meminta pemerintah saat ini mengambil langkah-langkah cepat untuk memperbaiki fundamental ekonomi pasca keputusan The Fed yang menunda aksi tapering atau pengurangan stimulus pada tahun ini.

Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Golkar, Harry Azhar Azis, dua langkah paling mendesak adalah menekan impor dan meningkatkan kinerja ekspor. Impor terbesar yang paling wajib diatasi adalah impor hasil migas.

"Pemerintah harus segera mengatasi keterbatasan pengolahan hasil migas karena keterbatasan kilang di dalam negeri. Cara tersingkat tentu saja adalah membeli kilang, sementara pembangunan kilang baru yang butuh waktu juga harus dilaksanakan," ujarnya di Media Center BKPP DPP Partai Golkar, baru-baru ini.

Selanjutnya, tentu saja meningkatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) karena peraturan Bank Indonesia tentang DHE belum begitu optimal sehingga menyebabkan defisit dalam neraca transaksi berjalan masih saja terjadi.

"Aturannya sudah ada, yang kurang adalah niat dan nyali dari pemerintah untuk menegakkan aturan ini terutama terhadap investor luar yang kerap mencari-cari alasan dan mengancam untuk menarik investasi," tuturnya tegas.

Selain langkah-langkah tersebut, dalam jangka pendek yang paling masuk akal adalah mendorong peningkatan sektor industri kreatif dan pariwisata berkonsep meetings, incentive travel, conventions, and exhibitions (MICE) yang memiliki perputaran uang yang sangat besar dibanding pembelanjaan yang dikeluarkan wisatawan biasa.

Karena itu, Golkar  meminta pemerintah mengatur sistem devisa dalam negeri yang selama ini terlalu longgar sehingga selalu tak berdaya ketika terjadi peningkatan penarikan dana asing.

Bukti terlalu longgarnya pasar valas dan pasar modal, adalah saat dollar mengalir ke luar dalam jumlah besar seiring penerapan Quantitative Easing (QE) oleh Pemerintah Amerika Serikat.

"Keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menunda pengurangan stimulus (tapering) yang mereka kucurkan sejak 2008 senilai 85 miliar dollar AS per bulan bisa mendorong aliran masuk modal asing (capital inflow) ke Indonesia," katanya.

Meski demikian, Indonesia yang menawarkan imbal hasil dan fundamental perekonomian lebih bagus harus mempersiapkan strategi agar dana-dana tersebut tidak dengan mudah keluar begitu saja.

Regulasi devisa atau UU No. 24 Tahun 1999 yang berlaku saat ini masih terlalu liberal. “Kita bisa mencotoh Thailand yang memiliki kemampuan untuk memburu serta mengembalikan devisa hasil ekspornya melalui UU Devisa yang sangat ketat.

"Dalam UU Devisa di Thailand tersebut ada kewajiban untuk menempatkan DHE di bank lokal dalam periode tertentu atau disebutholding period. Sehingga bisa menjaga nilai tukar mata uangnya," tutur Harry.

Saat ini, lanjut Harry, Bank Indonesia memiliki PBI No.13/20/PBI/2011 dan Surat Gubernur BI no.14/3/GBI/SDM tanggal 30 Oktober 2012 yang mewajibkan devisa hasil ekspor komoditas tambang, serta minyak dan gas yang diparkir di luar negeri ditarik ke dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal pemberitahuan ekspor barang (PEB). Namun sayang ternyata PBI hanya menjadi sistem pencatat dan belum menjadi instrumen pengatur PEB.

Namun menurut Harry, dalam tataran hukum. PBI bukan regulasi yang kuat. Harus ditetapkan sebuah Undang-Undang yang membuat investor nakal bersedia menaruh devisa di dalam negeri dalam waktu tertentu (holding period).

Editor: Surya